Ketika di tahapan "Ulat-Ulat" saya banyak belajar di keluarga manajemen emosi. Saat itu, khususnya di subkelas "Self Healing B" ada beberapa teman di kelas Bunda Cekatan yang berbagi tentang "Gratitude Therapy" atau dikenal dengan jurnal syukur. Kemudian ada beberapa orang yang ikut tantangannya. Kita diminta untuk menuliskan minimal sepuluh hal yang kita syukuri di hari itu dengan tulisan tangan minimal selama 21 hari secara konsisten serta ada beberapa panduan lainnya. Namun, mungkin ada beberapa yang berhenti di tengah jalan karena belum bisa konsisten menulis dengan tulisan tangan ataupun aspek teknis lainnya. Dan saya pribadi merasakan tantangan itu.
Akhirnya dari hasil evaluasi tersebut, saya pribadi mencoba mengambil benang merah dari "gratitude therapy" ini, yaitu fokus kepada filosofi dan tujuannya, bukan kepada media atau teknis lainnya. Saya mencoba memodifikasi jurnal syukur ini sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas saya, kuncinya yang penting adalah konsisten, berkelanjutan, dan memiliki dampak positif untuk kita pribadi.
Saya memilih membuat jurnal syukur ini tanpa "pakem" khusus dari aspek penulisan. Terkadang saya menuliskan jurnal syukur di HP atau ditulis di buku agenda pribadi. Apa yang saya tuliskan? Terkadang saya menuliskan hikmah pembelajaran hidup yang saya dapatkan di hari itu, atau bahkan saya sampaikan jurnal syukur ini dengan berbagi cerita dengan orang terdekat, khususnya suami.
Sejak menjalani "gratitude therapy" ini tanpa sadar saya menjadi lebih ekspresif menyatakan emosi positif yang saya rasakan. Yah, sekedar nikmatnya makan es krim di siang hari, sekedar menunjukkan kebahagiaan ketika suami bisa menemani anak-anak dan saya bisa membaca dan menulis dengan tenang. Begitupun saat saya bisa tidur siang dengan lelap meskipun hanya setengah jam saja. Semua itu sering saya ungkapkan dan seolah menjadi selebrasi "kecil" di tengah aktivitas yang saya lewati. Itu juga yang saya lakukan hari ini. Mensyukuri bisa ikut kajian online di pagi hari dan bisa makan masakan favorit bersama keluarga.
Jujur, dari sekian teknik yang saya jalani di #tantangan30hari ini, fokus untuk menuliskan dan melakukan "gratitude therapy" sangat berpengaruh besar terhadap proses self healing yang saya lakukan. Biasanya waktu shalat menjadi "alarm" bagi saya untuk melakukan "gratutude therapy" yaitu di mana sejenak saya menepi, berkontemplasi, sambil me-review beberapa jam yang sudah saya lewati. Tentang kealfaan yang dilakukan, tentang rasa bosan, kesal sama anak, dsb. Saya menjadikan waktu selesai saya shalat sebagai momen untuk melakukan refleksi dan berdamai dengan diri. Tak lupa ini menjadi momen dimana saya mensyukuri dengan penuh kesadaran atas waktu yang sudah saya lewati.
Awal hari dan penutup hari menjelang tidur termasuk momen istimewa juga bagi saya untuk merencanakan dan me-recharge semangat dan energi positif untuk melewati hari ini, pun menutup hari dengan kesyukuran. Semuanya awalnya saya anggap "sepele". Tapi, semakin rutin dilakukan semakin ketagihan. Semakin konsisten dilakukan semakin mereduksi pikiran negatif yang sering hadir dalam diri.
Saya jadi teringat nasihat dari Bapak, beliau selalu berpesan agar anak-anaknya senantiasa melakukan tahaddus bi ni'mah, yaitu menyampaikan kenikmatan yang kita dapatkan sekecil apapun itu. Kini semua itu saya rasakan, di mana kebahagiaan dan energi positif itu menular. Bukan pada materi yang kita genggam. Namun ternyata keberkahan itu kita rasakan ketika Allah SWT senantiasa dijadikan sebagai tujuan. Tak perlu gusar dan gelisah berlebihan, ketika kita meyakini bahwa Allah senantiasa berikan kebaikan kepada kita. Itulah beberapa refleksi belajar saya hari ini yang membuat saya melihat hidup ini dengan sudut pandang yang lebih positif, insyaAllah 😊
#tantangan30hari#kelaskepompong
#bundacekatan
#institutibuprofesional
#day26
Comments
Post a Comment