Tulisan ini kupersembahkan untuk pahlawan dalam hidupku yang kupanggil dengan sebutan "Mamah". Perempuan paruh baya yang kini sudah berusia 65 tahun. Tentu usia yang tak muda lagi untuk berkarya. Namun, apa yang saya lihat dan rasakan amatlah berbeda. Proses panjang yang beliau lewati sejak menyandang gelar sebagai Ibu, telah menjadi bukti bahwa beliau senantiasa berkarya, melahirkan karya besar sepanjang masa, mendidik ketujuh putrinya sebagai “investasi” surga, insyaallah.
Berbicara tentang sosok ibu, bagi saya pribadi, menjadi seorang ibu bukanlah tentang kompetisi. Namun, sejauh mana kita mampu berkontribusi. Mungkin terdengar klise, tapi begitulah para pahlawan sejati. Mereka berjuang bukan untuk berkompetisi, menunjukkan diri siapa yang paling hebat. Apalagi berharap ada imbalan atas jasa yang mereka beri. Kalaupun kini nama mereka ada di lembaran buku-buku sejarah. Namun, tampaknya itu bukan yang mereka cari. Ya, bukan untuk pencitraan ataupun penghargaan. Jauh lebih besar dari itu, gelar pahlawan bukan semata tentang menghitung peluh, harta dan pikiran yang dikorbankan, tapi tentang sebuah pengabdian.
Kini, saya menatap wajah ibu-ibu di sekitar saya, khususnya ibu saya sendiri. Tentang apa yang beliau beri. Bukan hiperbol jika kita menyematkan gelar “pahlawan” pada mereka. Ya, karena nilai-nilai kepahlawanan sejatinya menyatu dengan fitrah seseorang yang bernama “IBU”. Bahkan sejak pertama kali ia mendengar ada degup jantung di perutnya, maka sejak itu pula, hari-harinya selalu memikirkan yang terbaik untuk anak dalam kandungannya.
Ingatkah kita, bagi para ibu yang sudah melewati fase mengandung, melahirkan, dan menyusui? Aaah...akhirnya saya paham, kenapa ibu itu pantas disebut pahlawan. Ya, karena hidupnya adalah tentang pengorbanan dan perjuangan. Bahkan sekedar melawan ego untuk mengutamakan kepentingan anak dibanding kepentingannya sendiri. Bukankah itu bukan hal yang mudah? Bahkan, ia rela berkorban untuk bertarung nyawa demi melahirkan generasi penerusnya kelak.
Duhai para Ibu, ingatlah keistimewaanmu yang tersemat pada ayat suci. Bahwa para ibu memang diidentikan dengan perjuangan dan pengorbanan. Namun, semua itulah yang akan menghantarkannya pada kemuliaan.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Bagi para wanita di manapun berada, entah itu dengan panggilan emak, ibu, mama, bunda, umi dan nama-nama lainnya. Semoga kita semua kembali bisa mengingat akan fitrah kita sebagai Ibu. Bahwa menjadi ibu adalah SK yang telah Allah SWT tetapkan atas diri kita. Karena kita mampu untuk dititipkan amanahNya. Namun, seringkali kita lupa, tentang sebuah proses untuk melayakkan diri, menyandang gelar seorang Ibu. Bukan sekedar berhenti pada nama panggilan dan status saja. Ketika para pahlawan berjuang ke medan perang karena panggilan hati, maka kita sebagai ibu harus semakin sadar diri. Karena menjadi ibu adalah panggilan hati. Bukan sekedar berjibaku demi menggugurkan kewajiban.
Duhai para ibu, di manapun berada. Kita mungkin memilih peran dan cita-cita yang mungkin berbeda. Namun, tak usah berkecil hati dengan "gelar" yang mungkin tak pernah tersemat pada nama diri kita. Entah itu gelar sarjana, pengusaha, dokter, dan lainnya.
Duhai para ibu yang senantiasa berjibaku dengan urusan dapur. Tak usahlah risau akan kebahagiaan tetangga sebelah yang rasanya tak pernah kunjung datang pada diri kita. Bukankah syukur akan lebih banyak mendatangkan kebahagiaan?
Duhai para ibu, tetaplah berbesar hati. Karena bagi setiap generasi, sosok ibu adalah pahlawan sepanjang zaman, yang tak lekang dimakan usia.
Seorang penyair berkata
Sebaik-baik perempuan di alam semesta ini adalah
Yang mengurusi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
Jika ia tetap berada di rumah, maka ialah sang pemimpin
Yang akan dimuliakan dan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya
Ia memiliki kontribusi yang besar terhadap sebuah bangsa
Jika ia berhasil melahirkan para pahlawan yang siap dan layak membangun bangsa
Ia menjaga mereka di kala kecil, sehingga ia menjadi pondasi mereka
Karena ia melatih berbicara dan beramal
Seorang penyair juga berkata:
Ibu adalah madrasah, yang jika kau persiapkan
Berarti kau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang baik
Ibu adalah sebuah taman yang sepanjang hayat kamu berjanji
Untuk menyiraminya hingga tumbuh subur
Ibu adalah gurunya para guru
Ia memberikan pengaruh di segala ufuk
Memang benar, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, karena darinyalah anak belajar tentang keteladanan. Bukan sekedar belajar calistung saja. Kualitas seorang ibu, tentu akan menentukan bagaimana kualitas generasi penerusnya.
Saya jadi teringat dengan memori dua puluh delapan tahun yang lalu. Saat saya dilahirkan dari rahim seorang perempuan, yang kini saya panggil dengan panggilan “Mamah”. Dengan belaian tangannya saya dibesarkan. Dengan kasih sayangnya saya tumbuh dengan penuh kebahagiaan, hingga kini saya merasakan di posisi yang sama, yaitu menjadi seorang ibu.
Mamah, seorang wanita sederhana yang bersahaja. Seorang gadis desa yang tak mendapat gelar sarjana. Namun, beliau mampu membesarkan ketujuh putrinya hingga dewasa, meraih segala cita, bahkan menghantarkan hingga putri-putrinya berumah tangga. Ya, beliau mampu menggenapkan kewajiban untuk mendidik hingga menghantarkan kami ke gerbang pernikahan.
Mah, dirimu selalu istimewa
Entah itu kemarin, hari ini ataupun esok lusa
Dihadapanku, kau adalah pahlawan sepanjang zaman, yang tak lekang dimakan usia
Mah, senyumanmu senantiasa membawa secercah cahaya
Pelukanmu senantiasa menjadi obat dikala luka
Nasihatmu senantiasa menjadi kata-kata penuh makna
Mah, usiamu mungkin semakin senja
Namun bagiku kau tetaplah ksatria
Yang mengajarkanku tentang apa itu cinta
Mah, kesabaran dan keikhlasanmu yang tiada tara
Semoga kelak akan menghantarkamu pada ridha Allah SWT
Mendapat kebahagiaan hakiki dan abadi di surga-Nya
Sumber bacaan/referensi:
Sa'ad, Jum'ah. 2016. Ibunda Tokoh-Tokoh Teladan. Solo: Aqwam.
#KamiMenulis
#IIPDepok
#IbuSebagaiPahlawan
Berbicara tentang sosok ibu, bagi saya pribadi, menjadi seorang ibu bukanlah tentang kompetisi. Namun, sejauh mana kita mampu berkontribusi. Mungkin terdengar klise, tapi begitulah para pahlawan sejati. Mereka berjuang bukan untuk berkompetisi, menunjukkan diri siapa yang paling hebat. Apalagi berharap ada imbalan atas jasa yang mereka beri. Kalaupun kini nama mereka ada di lembaran buku-buku sejarah. Namun, tampaknya itu bukan yang mereka cari. Ya, bukan untuk pencitraan ataupun penghargaan. Jauh lebih besar dari itu, gelar pahlawan bukan semata tentang menghitung peluh, harta dan pikiran yang dikorbankan, tapi tentang sebuah pengabdian.
Kini, saya menatap wajah ibu-ibu di sekitar saya, khususnya ibu saya sendiri. Tentang apa yang beliau beri. Bukan hiperbol jika kita menyematkan gelar “pahlawan” pada mereka. Ya, karena nilai-nilai kepahlawanan sejatinya menyatu dengan fitrah seseorang yang bernama “IBU”. Bahkan sejak pertama kali ia mendengar ada degup jantung di perutnya, maka sejak itu pula, hari-harinya selalu memikirkan yang terbaik untuk anak dalam kandungannya.
Ingatkah kita, bagi para ibu yang sudah melewati fase mengandung, melahirkan, dan menyusui? Aaah...akhirnya saya paham, kenapa ibu itu pantas disebut pahlawan. Ya, karena hidupnya adalah tentang pengorbanan dan perjuangan. Bahkan sekedar melawan ego untuk mengutamakan kepentingan anak dibanding kepentingannya sendiri. Bukankah itu bukan hal yang mudah? Bahkan, ia rela berkorban untuk bertarung nyawa demi melahirkan generasi penerusnya kelak.
Duhai para Ibu, ingatlah keistimewaanmu yang tersemat pada ayat suci. Bahwa para ibu memang diidentikan dengan perjuangan dan pengorbanan. Namun, semua itulah yang akan menghantarkannya pada kemuliaan.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu!', Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Bagi para wanita di manapun berada, entah itu dengan panggilan emak, ibu, mama, bunda, umi dan nama-nama lainnya. Semoga kita semua kembali bisa mengingat akan fitrah kita sebagai Ibu. Bahwa menjadi ibu adalah SK yang telah Allah SWT tetapkan atas diri kita. Karena kita mampu untuk dititipkan amanahNya. Namun, seringkali kita lupa, tentang sebuah proses untuk melayakkan diri, menyandang gelar seorang Ibu. Bukan sekedar berhenti pada nama panggilan dan status saja. Ketika para pahlawan berjuang ke medan perang karena panggilan hati, maka kita sebagai ibu harus semakin sadar diri. Karena menjadi ibu adalah panggilan hati. Bukan sekedar berjibaku demi menggugurkan kewajiban.
Duhai para ibu, di manapun berada. Kita mungkin memilih peran dan cita-cita yang mungkin berbeda. Namun, tak usah berkecil hati dengan "gelar" yang mungkin tak pernah tersemat pada nama diri kita. Entah itu gelar sarjana, pengusaha, dokter, dan lainnya.
Duhai para ibu yang senantiasa berjibaku dengan urusan dapur. Tak usahlah risau akan kebahagiaan tetangga sebelah yang rasanya tak pernah kunjung datang pada diri kita. Bukankah syukur akan lebih banyak mendatangkan kebahagiaan?
Duhai para ibu, tetaplah berbesar hati. Karena bagi setiap generasi, sosok ibu adalah pahlawan sepanjang zaman, yang tak lekang dimakan usia.
Seorang penyair berkata
Sebaik-baik perempuan di alam semesta ini adalah
Yang mengurusi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
Jika ia tetap berada di rumah, maka ialah sang pemimpin
Yang akan dimuliakan dan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya
Ia memiliki kontribusi yang besar terhadap sebuah bangsa
Jika ia berhasil melahirkan para pahlawan yang siap dan layak membangun bangsa
Ia menjaga mereka di kala kecil, sehingga ia menjadi pondasi mereka
Karena ia melatih berbicara dan beramal
Seorang penyair juga berkata:
Ibu adalah madrasah, yang jika kau persiapkan
Berarti kau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang baik
Ibu adalah sebuah taman yang sepanjang hayat kamu berjanji
Untuk menyiraminya hingga tumbuh subur
Ibu adalah gurunya para guru
Ia memberikan pengaruh di segala ufuk
Memang benar, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, karena darinyalah anak belajar tentang keteladanan. Bukan sekedar belajar calistung saja. Kualitas seorang ibu, tentu akan menentukan bagaimana kualitas generasi penerusnya.
Saya jadi teringat dengan memori dua puluh delapan tahun yang lalu. Saat saya dilahirkan dari rahim seorang perempuan, yang kini saya panggil dengan panggilan “Mamah”. Dengan belaian tangannya saya dibesarkan. Dengan kasih sayangnya saya tumbuh dengan penuh kebahagiaan, hingga kini saya merasakan di posisi yang sama, yaitu menjadi seorang ibu.
Mamah, seorang wanita sederhana yang bersahaja. Seorang gadis desa yang tak mendapat gelar sarjana. Namun, beliau mampu membesarkan ketujuh putrinya hingga dewasa, meraih segala cita, bahkan menghantarkan hingga putri-putrinya berumah tangga. Ya, beliau mampu menggenapkan kewajiban untuk mendidik hingga menghantarkan kami ke gerbang pernikahan.
Mah, dirimu selalu istimewa
Entah itu kemarin, hari ini ataupun esok lusa
Dihadapanku, kau adalah pahlawan sepanjang zaman, yang tak lekang dimakan usia
Mah, senyumanmu senantiasa membawa secercah cahaya
Pelukanmu senantiasa menjadi obat dikala luka
Nasihatmu senantiasa menjadi kata-kata penuh makna
Mah, usiamu mungkin semakin senja
Namun bagiku kau tetaplah ksatria
Yang mengajarkanku tentang apa itu cinta
Mah, kesabaran dan keikhlasanmu yang tiada tara
Semoga kelak akan menghantarkamu pada ridha Allah SWT
Mendapat kebahagiaan hakiki dan abadi di surga-Nya
"Sejatinya, ibu adalah pahlawan sepanjang zaman, yang tak lekang dimakan usia. Karena dari rahimnya terlahir generasi penerus peradaban"
Sumber bacaan/referensi:
Sa'ad, Jum'ah. 2016. Ibunda Tokoh-Tokoh Teladan. Solo: Aqwam.
#KamiMenulis
#IIPDepok
#IbuSebagaiPahlawan
Comments
Post a Comment