Skip to main content

Berbahagialah bersama Anak-Anak Kita!

Episode menjadi seorang ibu bagi saya pribadi menjadi episode yang penuh tantangan. Bisa dibilang episode ini selalu menjadi refleksi tentang bagaimana saya mau menerima dan memahami diri sendiri. Betapa tidak, rasanya setelah menjadi seorang ibu, tanpa sadar memori masa kecil saya pun secara otomatis terekam kembali, entah itu kejadian yang menyenangkan maupun menyedihkan. Alhamdulillah memori saya lebih banyak menyimpan banyak kebahagiaan dibandingkan dengan kesedihan di masa kecil, sehingga persepsi yang muncul saat ini adalah "Anak-anak kita berhak untuk bahagia"

Kenapa penting bagi seorang ibu untuk merefleksikan posisinya kini dengan masa kecilnya? Bagi saya, hal tersebut bisa menjadi pengingat sekaligus evaluasi tentang bagaimana kita menjaga amanah dari Allah, yaitu anak-anak yang kini berada dalam pengasuhan kita. Sebagai seorang ibu, seringkali kita memposisikan diri selalu benar, paling tahu, tak bisa dikritik, dsb. Di sisi lain anak adalah pihak yang harus mau mendengar, harus mau dinasehati dan dikritik. Padahal, saat kita mengingat kembali masa kecil kita saat masih anak-anak, betapa kita sebenarnya ingin diberi ruang untuk dimengerti oleh para orangtua dan orang dewasa lainnya dengan segala keterbatasan yang ada, baik masalah komunikasi, daya tangkap dan lainnya. Ya, setiap anak ingin dimengerti, termasuk ingin merasa bahagia.

Akhir-akhir ini, semenjak memasuki kehamilan trisemester 3, tentu aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah. Kondisi fisik pun udah tak karuan, mulai dari cepat lelah, insomnia, sakit pinggang dan lainnya. Namun, ada tantangan baru yang tak sama dengan kehamilan sebelumnya. Jika hamil anak pertama, saya bisa fokus memikirkan kondisi janin dalam kandungan. Kini, ada ada seorang gadis kecil yang sebentar lagi genap berusia empat tahun, setia menemani keseharian. Gadis kecil yang sebentar lagi akan menjadi seorang "Teteh". Episode suka duka pun datang silih berganti, namun saya lebih senang jika menuliskan sesuatu yang memotivasi dan membahagiakan untuk dikenang.

Keseharian saya bersama Sabrina, khususnya setelah saya hamil anak kedua memberikan banyak pembelajaran bagi saya. Betapa tidak, ternyata apa yang kita "tanam" di kala usia "golden age" kini mulai menampakkan hasilnya. Saya seringkali tersenyum bahagia, terkadang menunduk malu, atau menangis haru melihat betapa fitrah seorang anak itu memang suci. Kita sebagai orangtua yang pertama dan paling utama berkontribusi untuk mengarahkan akan seperti apa anak-anak kita.

Betapa akhir-akhir ini saya merasa seringkali "baper" melihat Sabrina sudah mampu memposisikan diri sebagai seorang kakak. Betapa perhatiannya pada saya dan calon adiknya begitu nyata. Bahkan seringkali saya berpikir, bagaimana bisa anak balita berempati sedemikian rupa? Mengelus perut, memijit, mencium dan memeluk menjadi aktivitas harian yang dilakukan Sabrina kepada saya. Dan semua itu dilakukannya atas inisiatif sendiri dan dengan spontan.

"Bunda, Brina sayang Bunda dan Dede bayi", "Dede bayi lagi apa?, nanti kita main lego ya!", "Bunda cape, mau muntah? Bunda bobo dulu ya!", "Bunda lagi sedih, jangan nangis ya, sini Brina peluk" begitulah celotehnya setiap hari. Tangan mungilnya kini sudah bisa memeluk bundanya dengan erat, sambil mengusap punggung bundanya. Aaah...seolah semua yang sering saya lakukan "ditiru" habis-habisan.

Kini, gadis kecil ini sudah bisa menanyakan banyak hal tentang ini dan itu. Tanpa sadar untaian kalimat yang sering diucapkan menjelang tidur, saat kami bercerita, seolah kini terekam dan nampak di dunia nyata. "Bunda, bajunya basah, ganti ya!", "Bunda airnya tumpah, Brina bawa tisu ya!", "Bunda tangan Brina kotor, mau cuci tangan pakai sabun!", "Bunda tutup pintunya, Brina malu kelihatan aurat!". Begitulah celotehnya yang membuat saya teringat akan masa-masa "sulit" dua tahun belakangan. Mengingat episode anak balita yang seringkali tantrum, komunikasi belum dipahami, dsb. Kini, anak balita dihadapan saya bahkan sudah bisa mengungkapkan apa yang baik dan tidak baik.

Anak balita yang ada di hadapan saya tanpa sadar bertumbuh begitu cepat, melewati setiap milestone tumbuh kembangnya. Jika satu tahun yang lalu, sepertinya masih teringat betapa sulitnya Sabrina merangkai kata, namun kini berjuta alasan dan argumentasi sudah bisa dilontarkan. Bahkan di saat memberikan koreksi kepada orangtuanya. "Bunda itu udah azan, ayo kita shalat!", "Bunda, nonton tv gak boleh deket-deket, nanti matanya rusak!", "Bunda, ini hape ayah ya, kalau mau pinjem bilang dulu ya?", "Bunda, Brina gak boleh teriak-teriak ya, nanti berisik?". Begitulah celotehnya setiap hari.

Mengamati dan mencatat setiap memori bersama anak selalu membuat saya akhirnya tersadar, betapa Allah memberikan kita amanah menjadi seorang ibu agar kita mau banyak belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman keseharian kita. Betapa anak hadir sebagai amanah agar kita sebagai orangtua mau meng-upgrade diri, mencari dan mengamalkan ilmu sebagai pendidik utama dan pertama bagi mereka, anak-anak kita.

Tulisan ini sebenarnya adalah #ntms, pengingat bagi saya sendiri, betapa proses yang dijalani saat menjadi seorang ibu terasa begitu "berat" dan mendaki. Seringkali diiringi tangisan dan ujian kesabaran lainnya. Namun, tanpa kita sadari, jika kita mau melihat dari kacamata kesyukuran, maka kita akan menemukan betapa anak-anak kita telah menjadi pengingat agar kita mampu memahami tentang arti seorang ibu.

Mungkin masih teringat dalam benak, episode lelah yang bertambah-tambah kita rasakan. Sejak dari masa kehamilan, melahirkan, menyusui, MPASI, hingga episode mengajarnya berjalan hingga berkeringat untuk mengejar anak-anak kita yang senang berlari. Mungkin kita akan mengingat masa di mana begadang menjadi santapan sehari-hari. Betapa mandi dengan leluasa tanpa tangisan dan ketukan pintu kamar mandi adalah hal yang begitu "mahal" kita dapatkan. Namun kini, anak-anak kita ingin berlari, menaiki tangga sendiri. Tak jarang tangannya tak mau dituntun saat berjalan kaki. Bahkan baju yang dipakaipun ingin memilih sendiri.

Akhirnya saya tersadar, betapa kebersamaan kita mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita sangatlah berharga. Karena ibarat membangun sebuah rumah. Masa-masa ini adalah masa di mana kita membangun pondasi yang kuat, sebelum akhirnya kita mendesainnya dengan interior yang indah. Mungkin semuanya terasa lelah. Ibarat benih yang begitu lama bertumbuh menjadi pohon yang menjulang hingga berbunga dan berbuah. Semuanya butuh proses dan pengorbanan, disertai dengan kesabaran dan keikhlasan.
Bunda, tetaplah tersenyum penuh semangat, menikmati setiap episode yang penuh tantangan . Karena anak-anak kita ingin bertumbuh bersama kita dengan senyuman penuh kebahagiaan

#KamiMenulisIPDepok
#TantanganJuli
#HariAnak

Comments

Popular posts from this blog

Peran Adab dalam Memerangi Pergaulan Bebas

Presentasi hari kedua tantangan level 11 disampaikan oleh Mbak Risca, Mbak Suci, Mbak Thifal dan Mbak Rohmah. Pemaparan diawali dengan menyampaikan data-data terkait pergaulan bebas di kalangan remaja. Dilansir TirtoID (2016), BKKBN 2013 lalu menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Kondisi ini menyumbang peranan besar dalam jumlah kematian ibu dan anak. Di samping itu, Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi pada 2013 juga menyebut, sekitar 2,1 – 2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi, 30% di antaranya oleh remaja. Untuk itu, United Nations Departmen of Economic and Social Affairs (UNDESA) pada 2011 masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentase pernikahan dini pada peringkat 37. Menurut BKKN dengan peringkat itu, Indonesia merupakan negara kedua di ASEAN dengan persentase pernikahan dini tertinggi setelah Kamboja. Fitrah Seksualitas pada Usia Remaja Fitrah seksualita

Apa Perasaanmu Hari Ini?

[Dokumentasi pribadi] Perjalanan membersamai tumbuh kembang anak pertama sungguh memberikan banyak pembelajaran bagi saya pribadi untuk memahami peran seorang ibu. Episode awal menjadi seorang ibu dipenuhi oleh pengalaman yang memungkinkan seorang ibu menjadi orangtua "sumbu pendek". Betapa tidak, hampir setiap jam terdengar tangisan dari seorang bayi kecil di hadapannya. Entah karena lapar, kepanasan, bosan, dsb. Episode berlanjut dengan fase di mana anak mulai sering tantrum. Saat itu saya terkaget-kaget menyaksikan seorang anak balita di hadapan saya yang menangis menjerit tiada henti, bahkan sambil berguling-guling, terkadang meronta. Berbagai jurus pun mulai dicoba mulai dari mengalihkan perhatiannya dengan menawarkan makanan kesukaannya, mengajaknya keluar melihat teman bermainnya, bahkan menyodorkan gadget berupa video yang bisa membuat tangisannya mereda. Namun, ternyata berbagai cara tersebut juga terkadang tidak berhasil membuat anak berhenti menangis. Nah, y

Asyiknya Bermain Air!

Aktivitas bermain yang hampir tidak pernah ditolak Sabrina adalah bermain air. Bahkan tanpa difasilitasi pun, seringkali Sabrina sudah anteng bermain air, alias inisiatif ke kamar mandi. Membawa mainan untuk dicuci atau sekedar bermain sabun dan inisiatif ingin wudhu sendiri. Tentu akibatnya baju basah dan tak jarang membuat saya yang sedang melakukan aktivitas lain, semisal memasak harus berhenti dahulu. Sekedar memastikan bahwa bermain airnya masih "aman" 😬. Hari ini, saya coba memberikan stimulasi kepada Sabrina untuk mengeksplorasi air. Mulai dari memberikan pewarna makanan ke air hingga proses menuang dan membandingkan kuantitas air. Ya, tujuan utamanya untuk melatih motorik halus bagi Sabrina, bagaimana berusaha hati-hati dalam menuang air supaya tidak tumpah dan belajar mengenal kuantitas. Seperti biasa dalam proses belajar selalu ada hal yang di luar prediksi. Artinya apa yang saya sediakan terkadang dieksplorasi sesuai dengan imajinasi Sabrina. Saya sengaja hany