Episode menjadi seorang ibu bagi saya pribadi menjadi episode yang penuh tantangan. Bisa dibilang episode ini selalu menjadi refleksi tentang bagaimana saya mau menerima dan memahami diri sendiri. Betapa tidak, rasanya setelah menjadi seorang ibu, tanpa sadar memori masa kecil saya pun secara otomatis terekam kembali, entah itu kejadian yang menyenangkan maupun menyedihkan. Alhamdulillah memori saya lebih banyak menyimpan banyak kebahagiaan dibandingkan dengan kesedihan di masa kecil, sehingga persepsi yang muncul saat ini adalah "Anak-anak kita berhak untuk bahagia"
Kenapa penting bagi seorang ibu untuk merefleksikan posisinya kini dengan masa kecilnya? Bagi saya, hal tersebut bisa menjadi pengingat sekaligus evaluasi tentang bagaimana kita menjaga amanah dari Allah, yaitu anak-anak yang kini berada dalam pengasuhan kita. Sebagai seorang ibu, seringkali kita memposisikan diri selalu benar, paling tahu, tak bisa dikritik, dsb. Di sisi lain anak adalah pihak yang harus mau mendengar, harus mau dinasehati dan dikritik. Padahal, saat kita mengingat kembali masa kecil kita saat masih anak-anak, betapa kita sebenarnya ingin diberi ruang untuk dimengerti oleh para orangtua dan orang dewasa lainnya dengan segala keterbatasan yang ada, baik masalah komunikasi, daya tangkap dan lainnya. Ya, setiap anak ingin dimengerti, termasuk ingin merasa bahagia.
Akhir-akhir ini, semenjak memasuki kehamilan trisemester 3, tentu aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah. Kondisi fisik pun udah tak karuan, mulai dari cepat lelah, insomnia, sakit pinggang dan lainnya. Namun, ada tantangan baru yang tak sama dengan kehamilan sebelumnya. Jika hamil anak pertama, saya bisa fokus memikirkan kondisi janin dalam kandungan. Kini, ada ada seorang gadis kecil yang sebentar lagi genap berusia empat tahun, setia menemani keseharian. Gadis kecil yang sebentar lagi akan menjadi seorang "Teteh". Episode suka duka pun datang silih berganti, namun saya lebih senang jika menuliskan sesuatu yang memotivasi dan membahagiakan untuk dikenang.
Keseharian saya bersama Sabrina, khususnya setelah saya hamil anak kedua memberikan banyak pembelajaran bagi saya. Betapa tidak, ternyata apa yang kita "tanam" di kala usia "golden age" kini mulai menampakkan hasilnya. Saya seringkali tersenyum bahagia, terkadang menunduk malu, atau menangis haru melihat betapa fitrah seorang anak itu memang suci. Kita sebagai orangtua yang pertama dan paling utama berkontribusi untuk mengarahkan akan seperti apa anak-anak kita.
Betapa akhir-akhir ini saya merasa seringkali "baper" melihat Sabrina sudah mampu memposisikan diri sebagai seorang kakak. Betapa perhatiannya pada saya dan calon adiknya begitu nyata. Bahkan seringkali saya berpikir, bagaimana bisa anak balita berempati sedemikian rupa? Mengelus perut, memijit, mencium dan memeluk menjadi aktivitas harian yang dilakukan Sabrina kepada saya. Dan semua itu dilakukannya atas inisiatif sendiri dan dengan spontan.
"Bunda, Brina sayang Bunda dan Dede bayi", "Dede bayi lagi apa?, nanti kita main lego ya!", "Bunda cape, mau muntah? Bunda bobo dulu ya!", "Bunda lagi sedih, jangan nangis ya, sini Brina peluk" begitulah celotehnya setiap hari. Tangan mungilnya kini sudah bisa memeluk bundanya dengan erat, sambil mengusap punggung bundanya. Aaah...seolah semua yang sering saya lakukan "ditiru" habis-habisan.
Kini, gadis kecil ini sudah bisa menanyakan banyak hal tentang ini dan itu. Tanpa sadar untaian kalimat yang sering diucapkan menjelang tidur, saat kami bercerita, seolah kini terekam dan nampak di dunia nyata. "Bunda, bajunya basah, ganti ya!", "Bunda airnya tumpah, Brina bawa tisu ya!", "Bunda tangan Brina kotor, mau cuci tangan pakai sabun!", "Bunda tutup pintunya, Brina malu kelihatan aurat!". Begitulah celotehnya yang membuat saya teringat akan masa-masa "sulit" dua tahun belakangan. Mengingat episode anak balita yang seringkali tantrum, komunikasi belum dipahami, dsb. Kini, anak balita dihadapan saya bahkan sudah bisa mengungkapkan apa yang baik dan tidak baik.
Anak balita yang ada di hadapan saya tanpa sadar bertumbuh begitu cepat, melewati setiap milestone tumbuh kembangnya. Jika satu tahun yang lalu, sepertinya masih teringat betapa sulitnya Sabrina merangkai kata, namun kini berjuta alasan dan argumentasi sudah bisa dilontarkan. Bahkan di saat memberikan koreksi kepada orangtuanya. "Bunda itu udah azan, ayo kita shalat!", "Bunda, nonton tv gak boleh deket-deket, nanti matanya rusak!", "Bunda, ini hape ayah ya, kalau mau pinjem bilang dulu ya?", "Bunda, Brina gak boleh teriak-teriak ya, nanti berisik?". Begitulah celotehnya setiap hari.
Mengamati dan mencatat setiap memori bersama anak selalu membuat saya akhirnya tersadar, betapa Allah memberikan kita amanah menjadi seorang ibu agar kita mau banyak belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman keseharian kita. Betapa anak hadir sebagai amanah agar kita sebagai orangtua mau meng-upgrade diri, mencari dan mengamalkan ilmu sebagai pendidik utama dan pertama bagi mereka, anak-anak kita.
Tulisan ini sebenarnya adalah #ntms, pengingat bagi saya sendiri, betapa proses yang dijalani saat menjadi seorang ibu terasa begitu "berat" dan mendaki. Seringkali diiringi tangisan dan ujian kesabaran lainnya. Namun, tanpa kita sadari, jika kita mau melihat dari kacamata kesyukuran, maka kita akan menemukan betapa anak-anak kita telah menjadi pengingat agar kita mampu memahami tentang arti seorang ibu.
Mungkin masih teringat dalam benak, episode lelah yang bertambah-tambah kita rasakan. Sejak dari masa kehamilan, melahirkan, menyusui, MPASI, hingga episode mengajarnya berjalan hingga berkeringat untuk mengejar anak-anak kita yang senang berlari. Mungkin kita akan mengingat masa di mana begadang menjadi santapan sehari-hari. Betapa mandi dengan leluasa tanpa tangisan dan ketukan pintu kamar mandi adalah hal yang begitu "mahal" kita dapatkan. Namun kini, anak-anak kita ingin berlari, menaiki tangga sendiri. Tak jarang tangannya tak mau dituntun saat berjalan kaki. Bahkan baju yang dipakaipun ingin memilih sendiri.
Akhirnya saya tersadar, betapa kebersamaan kita mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita sangatlah berharga. Karena ibarat membangun sebuah rumah. Masa-masa ini adalah masa di mana kita membangun pondasi yang kuat, sebelum akhirnya kita mendesainnya dengan interior yang indah. Mungkin semuanya terasa lelah. Ibarat benih yang begitu lama bertumbuh menjadi pohon yang menjulang hingga berbunga dan berbuah. Semuanya butuh proses dan pengorbanan, disertai dengan kesabaran dan keikhlasan.
#KamiMenulisIPDepok
#TantanganJuli
#HariAnak
Kenapa penting bagi seorang ibu untuk merefleksikan posisinya kini dengan masa kecilnya? Bagi saya, hal tersebut bisa menjadi pengingat sekaligus evaluasi tentang bagaimana kita menjaga amanah dari Allah, yaitu anak-anak yang kini berada dalam pengasuhan kita. Sebagai seorang ibu, seringkali kita memposisikan diri selalu benar, paling tahu, tak bisa dikritik, dsb. Di sisi lain anak adalah pihak yang harus mau mendengar, harus mau dinasehati dan dikritik. Padahal, saat kita mengingat kembali masa kecil kita saat masih anak-anak, betapa kita sebenarnya ingin diberi ruang untuk dimengerti oleh para orangtua dan orang dewasa lainnya dengan segala keterbatasan yang ada, baik masalah komunikasi, daya tangkap dan lainnya. Ya, setiap anak ingin dimengerti, termasuk ingin merasa bahagia.
Akhir-akhir ini, semenjak memasuki kehamilan trisemester 3, tentu aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah. Kondisi fisik pun udah tak karuan, mulai dari cepat lelah, insomnia, sakit pinggang dan lainnya. Namun, ada tantangan baru yang tak sama dengan kehamilan sebelumnya. Jika hamil anak pertama, saya bisa fokus memikirkan kondisi janin dalam kandungan. Kini, ada ada seorang gadis kecil yang sebentar lagi genap berusia empat tahun, setia menemani keseharian. Gadis kecil yang sebentar lagi akan menjadi seorang "Teteh". Episode suka duka pun datang silih berganti, namun saya lebih senang jika menuliskan sesuatu yang memotivasi dan membahagiakan untuk dikenang.
Keseharian saya bersama Sabrina, khususnya setelah saya hamil anak kedua memberikan banyak pembelajaran bagi saya. Betapa tidak, ternyata apa yang kita "tanam" di kala usia "golden age" kini mulai menampakkan hasilnya. Saya seringkali tersenyum bahagia, terkadang menunduk malu, atau menangis haru melihat betapa fitrah seorang anak itu memang suci. Kita sebagai orangtua yang pertama dan paling utama berkontribusi untuk mengarahkan akan seperti apa anak-anak kita.
Betapa akhir-akhir ini saya merasa seringkali "baper" melihat Sabrina sudah mampu memposisikan diri sebagai seorang kakak. Betapa perhatiannya pada saya dan calon adiknya begitu nyata. Bahkan seringkali saya berpikir, bagaimana bisa anak balita berempati sedemikian rupa? Mengelus perut, memijit, mencium dan memeluk menjadi aktivitas harian yang dilakukan Sabrina kepada saya. Dan semua itu dilakukannya atas inisiatif sendiri dan dengan spontan.
"Bunda, Brina sayang Bunda dan Dede bayi", "Dede bayi lagi apa?, nanti kita main lego ya!", "Bunda cape, mau muntah? Bunda bobo dulu ya!", "Bunda lagi sedih, jangan nangis ya, sini Brina peluk" begitulah celotehnya setiap hari. Tangan mungilnya kini sudah bisa memeluk bundanya dengan erat, sambil mengusap punggung bundanya. Aaah...seolah semua yang sering saya lakukan "ditiru" habis-habisan.
Kini, gadis kecil ini sudah bisa menanyakan banyak hal tentang ini dan itu. Tanpa sadar untaian kalimat yang sering diucapkan menjelang tidur, saat kami bercerita, seolah kini terekam dan nampak di dunia nyata. "Bunda, bajunya basah, ganti ya!", "Bunda airnya tumpah, Brina bawa tisu ya!", "Bunda tangan Brina kotor, mau cuci tangan pakai sabun!", "Bunda tutup pintunya, Brina malu kelihatan aurat!". Begitulah celotehnya yang membuat saya teringat akan masa-masa "sulit" dua tahun belakangan. Mengingat episode anak balita yang seringkali tantrum, komunikasi belum dipahami, dsb. Kini, anak balita dihadapan saya bahkan sudah bisa mengungkapkan apa yang baik dan tidak baik.
Anak balita yang ada di hadapan saya tanpa sadar bertumbuh begitu cepat, melewati setiap milestone tumbuh kembangnya. Jika satu tahun yang lalu, sepertinya masih teringat betapa sulitnya Sabrina merangkai kata, namun kini berjuta alasan dan argumentasi sudah bisa dilontarkan. Bahkan di saat memberikan koreksi kepada orangtuanya. "Bunda itu udah azan, ayo kita shalat!", "Bunda, nonton tv gak boleh deket-deket, nanti matanya rusak!", "Bunda, ini hape ayah ya, kalau mau pinjem bilang dulu ya?", "Bunda, Brina gak boleh teriak-teriak ya, nanti berisik?". Begitulah celotehnya setiap hari.
Mengamati dan mencatat setiap memori bersama anak selalu membuat saya akhirnya tersadar, betapa Allah memberikan kita amanah menjadi seorang ibu agar kita mau banyak belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman keseharian kita. Betapa anak hadir sebagai amanah agar kita sebagai orangtua mau meng-upgrade diri, mencari dan mengamalkan ilmu sebagai pendidik utama dan pertama bagi mereka, anak-anak kita.
Tulisan ini sebenarnya adalah #ntms, pengingat bagi saya sendiri, betapa proses yang dijalani saat menjadi seorang ibu terasa begitu "berat" dan mendaki. Seringkali diiringi tangisan dan ujian kesabaran lainnya. Namun, tanpa kita sadari, jika kita mau melihat dari kacamata kesyukuran, maka kita akan menemukan betapa anak-anak kita telah menjadi pengingat agar kita mampu memahami tentang arti seorang ibu.
Mungkin masih teringat dalam benak, episode lelah yang bertambah-tambah kita rasakan. Sejak dari masa kehamilan, melahirkan, menyusui, MPASI, hingga episode mengajarnya berjalan hingga berkeringat untuk mengejar anak-anak kita yang senang berlari. Mungkin kita akan mengingat masa di mana begadang menjadi santapan sehari-hari. Betapa mandi dengan leluasa tanpa tangisan dan ketukan pintu kamar mandi adalah hal yang begitu "mahal" kita dapatkan. Namun kini, anak-anak kita ingin berlari, menaiki tangga sendiri. Tak jarang tangannya tak mau dituntun saat berjalan kaki. Bahkan baju yang dipakaipun ingin memilih sendiri.
Akhirnya saya tersadar, betapa kebersamaan kita mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita sangatlah berharga. Karena ibarat membangun sebuah rumah. Masa-masa ini adalah masa di mana kita membangun pondasi yang kuat, sebelum akhirnya kita mendesainnya dengan interior yang indah. Mungkin semuanya terasa lelah. Ibarat benih yang begitu lama bertumbuh menjadi pohon yang menjulang hingga berbunga dan berbuah. Semuanya butuh proses dan pengorbanan, disertai dengan kesabaran dan keikhlasan.
Bunda, tetaplah tersenyum penuh semangat, menikmati setiap episode yang penuh tantangan . Karena anak-anak kita ingin bertumbuh bersama kita dengan senyuman penuh kebahagiaan
#KamiMenulisIPDepok
#TantanganJuli
#HariAnak
Comments
Post a Comment