Skip to main content

Belajar dari Anak, Kenapa Tidak?


Suatu ketika saya pernah melihat ada orangtua yang sedang "menasehati" anak balitanya dengan jari tangan menunjuk tepat di hadapan balita yang berwajah polos tanpa dosa. "Kamu itu kenapa sih gak pernah mau nurut sama ayah? Telinganya ditaro dimana?". Saya hanya bisa menatap tajam sambil mengelus dada. Melihat balita itu menangis dengan suara melengking khas anak balita. Saya hanya melihat ekspresi balita itu seolah tak bisa membela diri untuk sekedar berbicara satu dua patah kata. Maka, hanya tangisanlah yang menjadi pilihan untuk mengungkapkan rasa.

Saya pun sama, pernah sesekali atau berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Ya, kesalahan dalam pengasuhan kepada anak hanya gara-gara masalah yang mungkin sepele. Anak menumpahkan makanan, anak memecahkahkan piring, anak gak mau makan, anak gak mau mandi, serta puluhan daftar lainnya yang bisa jadi menjadi permasalahan yang sama bagi para orangtua di mana pun berada. Hanya karena kurang bersabar, seringkali "memarahi" anak menjadi jalan pintas yang dianggap mampu menyelesaikan masalah. Seolah saat kejadian orangtua adalah orang yang paling benar yang bisa menjatuhi "hukuman", yang bisa meluapkan emosi dan yang berhak menasehati. Lain halnya di posisi seorang anak, dalam keadaan demikian biasanya anak yang sering disalahkan. Entah karena kecerobohannya, rasa ingin tahunya yang tinggi atau bahkan hanya karena anak membutuhkan perhatian dari orangtuanya. Namun, anaklah yang akhirnya dituntut harus mengakui kesalahan, harus mau memperbaiki diri dan harus mengikuti setiap kata-kata orangtuanya.

Andai kita mau sedikit saja memahami dan menempatkan diri di posisi mereka, anak-anak kita, mungkin setidaknya kita mau menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Sekedar memberikan kesempatan mereka berbicara dan mendengarkan setiap pertanyaan atau argumentasi mereka. Bahkan mungkin sekedar celoteh dari anak-anak balita kita. Yang bahkan mereka belum memahami sepenuhnya tentang apa yang benar dan tidak, tentang mana yang sopan dan tidak, apalagi berusaha memahami tentang kedisiplinan bahkan halal dan haram suatu perbuatan. Namun, seringkali kita para orangtua menempatkan mereka bak orang dewasa yang harus tau konsekuensi dari perbuatan yang mereka lakukan.

Ayah dan bunda, jikalau para balita bisa berargumentasi, menyampaikan pendapat secara terbuka, mungkin mereka akan berbicara bahwa mereka hanya ingin dipahami saja. Ayah dan bunda, jikalau mau sedikit saja, merendahkan badan untuk berdiri sejajar dengan mata anak-anak kita, mungkin mereka akan berbicara perlahan tanpa drama teriakan dan tendangan yang merajalela. Ayah dan bunda, jikalau mau memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan rasa. Biarlah mereka  belajar memahami rasa marah, kecewa, sedih yang mereka rasa, bukan justru memaksa mereka diam tanpa kata-kata.

Suatu ketika mungkin kita akan sampai di suatu masa, di mana orangtua begitu merindu kepada celoteh anak-anak balita kita. Dengan puluhan pertanyaan yang sama, berulang kali setiap harinya. Suatu ketika, mungkin kita akan merindu dengan suara tangisan anak-anak balita kita yang berebut mainan, makanan dan sejenisnya. Hingga akhirnya kita sadar bahwa mereka telah beranjak dewasa. Jangankan untuk curhat empat mata, sekedar dituntun dan dipeluk saja mereka sudah malu, apalagi jika diperlakukan bak anak balita.

Ayah dan bunda, mungkin inilah momen emas yang tidak pernah akan kita lupa. Dalam episode bertumbuh bersama anak-anak balita kita. Di mana mereka akan belajar tentang iman, tentang adab, akhlak dan kedisiplinan, dan ilmu pengetahuan. Maka, bolehkah kita bertanya pada diri-diri kita? Tentang proses belajar dari anak-anak kita? Ya, mungkin lucu, klise atau bahkan terkesan hanya teori parenting saja. Bagaimana kita mau belajar dari anak-anak kita. Bukan sebaliknya hanya menjadikan mereka sebagai sebuah objek dari proses pembelajaran kita sebagai orangtua.

Ayah dan bunda, hakikatnya kita sedang bertumbuh bersama. Belajar memahami banyak hal dari keseharian yang kita jalani. Belajar memetik hikmah dari setiap kejadian yang telah terjadi. Maka, salahkah kita, para orangtua ketika harus belajar dan berkaca kepada anak-anak kita? Bukankah kita menjadi orangtua semenjak kita dititipkan anak oleh Sang Maha Kuasa, Allah SWT.

Suatu ketika, saya pernah mendapatkan suatu kata-kata yang cukup menghujam di jiwa. Kata-kata yang keluar dari seorang dokter anak tentang makna belajar sesungguhnya. Jika sebelumnya saya berpikir bahwa anak adalah orang yang akan kita ajarkan banyak hal, ternyata dokter itu berujar "Sesungguhnya anak-anak kitalah yang menjadi 'dosen' parenting bagi para orangtua". Karena dari merekalah kita akhirnya menemukan banyak tantangan untuk dipecahkan, yang akhirnya mampu menaikkan "level" kita sebagai orangtua.

Anak yang susah makan akhirnya telah mengajarkan para ibu di rumah secara tidak langsung untuk mau membuka berbagai resep MPASI lengkap dengan kadar gizinya. Tak lupa puluhan resep pun dengan sabar diuji coba. Bahkan tak sedikit para ibu yang mendadak rajin bak mahasiswa, membaca jurnal untuk sekedar mendapatkan jawaban "kenapa anak saya gak mau makan?". Dari anak yang sulit bicara, mungkin seorang ibu lulusan teknik pun akhirnya mau membaca buku psikologi untuk mengetahui tentang apa itu speech delay dan faktor penyebabnya, hingga akhirnya sang ibu yang tak mahir bercerita pun, "terpaksa" harus berimajinasi dengan mimik penuh gaya. Ya, itulah proses belajar sesungguhnya dari kita para orangtua. Maka, bolehkan sekali saja kita berterima kasih kepada anak-anak kita di rumah? Karena mereka, akhirnya kita mau belajar menjadi orangtua sesungguhnya.

#KamiMenulisIPDepok
#TantanganJuli
#HariAnak

Comments

Popular posts from this blog

Peran Adab dalam Memerangi Pergaulan Bebas

Presentasi hari kedua tantangan level 11 disampaikan oleh Mbak Risca, Mbak Suci, Mbak Thifal dan Mbak Rohmah. Pemaparan diawali dengan menyampaikan data-data terkait pergaulan bebas di kalangan remaja. Dilansir TirtoID (2016), BKKBN 2013 lalu menyebutkan sebanyak 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Kondisi ini menyumbang peranan besar dalam jumlah kematian ibu dan anak. Di samping itu, Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi pada 2013 juga menyebut, sekitar 2,1 – 2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi, 30% di antaranya oleh remaja. Untuk itu, United Nations Departmen of Economic and Social Affairs (UNDESA) pada 2011 masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentase pernikahan dini pada peringkat 37. Menurut BKKN dengan peringkat itu, Indonesia merupakan negara kedua di ASEAN dengan persentase pernikahan dini tertinggi setelah Kamboja. Fitrah Seksualitas pada Usia Remaja Fitrah seksualita

Apa Perasaanmu Hari Ini?

[Dokumentasi pribadi] Perjalanan membersamai tumbuh kembang anak pertama sungguh memberikan banyak pembelajaran bagi saya pribadi untuk memahami peran seorang ibu. Episode awal menjadi seorang ibu dipenuhi oleh pengalaman yang memungkinkan seorang ibu menjadi orangtua "sumbu pendek". Betapa tidak, hampir setiap jam terdengar tangisan dari seorang bayi kecil di hadapannya. Entah karena lapar, kepanasan, bosan, dsb. Episode berlanjut dengan fase di mana anak mulai sering tantrum. Saat itu saya terkaget-kaget menyaksikan seorang anak balita di hadapan saya yang menangis menjerit tiada henti, bahkan sambil berguling-guling, terkadang meronta. Berbagai jurus pun mulai dicoba mulai dari mengalihkan perhatiannya dengan menawarkan makanan kesukaannya, mengajaknya keluar melihat teman bermainnya, bahkan menyodorkan gadget berupa video yang bisa membuat tangisannya mereda. Namun, ternyata berbagai cara tersebut juga terkadang tidak berhasil membuat anak berhenti menangis. Nah, y

Asyiknya Bermain Air!

Aktivitas bermain yang hampir tidak pernah ditolak Sabrina adalah bermain air. Bahkan tanpa difasilitasi pun, seringkali Sabrina sudah anteng bermain air, alias inisiatif ke kamar mandi. Membawa mainan untuk dicuci atau sekedar bermain sabun dan inisiatif ingin wudhu sendiri. Tentu akibatnya baju basah dan tak jarang membuat saya yang sedang melakukan aktivitas lain, semisal memasak harus berhenti dahulu. Sekedar memastikan bahwa bermain airnya masih "aman" 😬. Hari ini, saya coba memberikan stimulasi kepada Sabrina untuk mengeksplorasi air. Mulai dari memberikan pewarna makanan ke air hingga proses menuang dan membandingkan kuantitas air. Ya, tujuan utamanya untuk melatih motorik halus bagi Sabrina, bagaimana berusaha hati-hati dalam menuang air supaya tidak tumpah dan belajar mengenal kuantitas. Seperti biasa dalam proses belajar selalu ada hal yang di luar prediksi. Artinya apa yang saya sediakan terkadang dieksplorasi sesuai dengan imajinasi Sabrina. Saya sengaja hany