Suatu ketika saya pernah melihat ada orangtua yang sedang "menasehati" anak balitanya dengan jari tangan menunjuk tepat di hadapan balita yang berwajah polos tanpa dosa. "Kamu itu kenapa sih gak pernah mau nurut sama ayah? Telinganya ditaro dimana?". Saya hanya bisa menatap tajam sambil mengelus dada. Melihat balita itu menangis dengan suara melengking khas anak balita. Saya hanya melihat ekspresi balita itu seolah tak bisa membela diri untuk sekedar berbicara satu dua patah kata. Maka, hanya tangisanlah yang menjadi pilihan untuk mengungkapkan rasa.
Saya pun sama, pernah sesekali atau berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Ya, kesalahan dalam pengasuhan kepada anak hanya gara-gara masalah yang mungkin sepele. Anak menumpahkan makanan, anak memecahkahkan piring, anak gak mau makan, anak gak mau mandi, serta puluhan daftar lainnya yang bisa jadi menjadi permasalahan yang sama bagi para orangtua di mana pun berada. Hanya karena kurang bersabar, seringkali "memarahi" anak menjadi jalan pintas yang dianggap mampu menyelesaikan masalah. Seolah saat kejadian orangtua adalah orang yang paling benar yang bisa menjatuhi "hukuman", yang bisa meluapkan emosi dan yang berhak menasehati. Lain halnya di posisi seorang anak, dalam keadaan demikian biasanya anak yang sering disalahkan. Entah karena kecerobohannya, rasa ingin tahunya yang tinggi atau bahkan hanya karena anak membutuhkan perhatian dari orangtuanya. Namun, anaklah yang akhirnya dituntut harus mengakui kesalahan, harus mau memperbaiki diri dan harus mengikuti setiap kata-kata orangtuanya.
Andai kita mau sedikit saja memahami dan menempatkan diri di posisi mereka, anak-anak kita, mungkin setidaknya kita mau menjadi pendengar yang baik bagi mereka. Sekedar memberikan kesempatan mereka berbicara dan mendengarkan setiap pertanyaan atau argumentasi mereka. Bahkan mungkin sekedar celoteh dari anak-anak balita kita. Yang bahkan mereka belum memahami sepenuhnya tentang apa yang benar dan tidak, tentang mana yang sopan dan tidak, apalagi berusaha memahami tentang kedisiplinan bahkan halal dan haram suatu perbuatan. Namun, seringkali kita para orangtua menempatkan mereka bak orang dewasa yang harus tau konsekuensi dari perbuatan yang mereka lakukan.
Ayah dan bunda, jikalau para balita bisa berargumentasi, menyampaikan pendapat secara terbuka, mungkin mereka akan berbicara bahwa mereka hanya ingin dipahami saja. Ayah dan bunda, jikalau mau sedikit saja, merendahkan badan untuk berdiri sejajar dengan mata anak-anak kita, mungkin mereka akan berbicara perlahan tanpa drama teriakan dan tendangan yang merajalela. Ayah dan bunda, jikalau mau memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan rasa. Biarlah mereka belajar memahami rasa marah, kecewa, sedih yang mereka rasa, bukan justru memaksa mereka diam tanpa kata-kata.
Suatu ketika mungkin kita akan sampai di suatu masa, di mana orangtua begitu merindu kepada celoteh anak-anak balita kita. Dengan puluhan pertanyaan yang sama, berulang kali setiap harinya. Suatu ketika, mungkin kita akan merindu dengan suara tangisan anak-anak balita kita yang berebut mainan, makanan dan sejenisnya. Hingga akhirnya kita sadar bahwa mereka telah beranjak dewasa. Jangankan untuk curhat empat mata, sekedar dituntun dan dipeluk saja mereka sudah malu, apalagi jika diperlakukan bak anak balita.
Ayah dan bunda, mungkin inilah momen emas yang tidak pernah akan kita lupa. Dalam episode bertumbuh bersama anak-anak balita kita. Di mana mereka akan belajar tentang iman, tentang adab, akhlak dan kedisiplinan, dan ilmu pengetahuan. Maka, bolehkah kita bertanya pada diri-diri kita? Tentang proses belajar dari anak-anak kita? Ya, mungkin lucu, klise atau bahkan terkesan hanya teori parenting saja. Bagaimana kita mau belajar dari anak-anak kita. Bukan sebaliknya hanya menjadikan mereka sebagai sebuah objek dari proses pembelajaran kita sebagai orangtua.
Ayah dan bunda, hakikatnya kita sedang bertumbuh bersama. Belajar memahami banyak hal dari keseharian yang kita jalani. Belajar memetik hikmah dari setiap kejadian yang telah terjadi. Maka, salahkah kita, para orangtua ketika harus belajar dan berkaca kepada anak-anak kita? Bukankah kita menjadi orangtua semenjak kita dititipkan anak oleh Sang Maha Kuasa, Allah SWT.
Suatu ketika, saya pernah mendapatkan suatu kata-kata yang cukup menghujam di jiwa. Kata-kata yang keluar dari seorang dokter anak tentang makna belajar sesungguhnya. Jika sebelumnya saya berpikir bahwa anak adalah orang yang akan kita ajarkan banyak hal, ternyata dokter itu berujar "Sesungguhnya anak-anak kitalah yang menjadi 'dosen' parenting bagi para orangtua". Karena dari merekalah kita akhirnya menemukan banyak tantangan untuk dipecahkan, yang akhirnya mampu menaikkan "level" kita sebagai orangtua.
Anak yang susah makan akhirnya telah mengajarkan para ibu di rumah secara tidak langsung untuk mau membuka berbagai resep MPASI lengkap dengan kadar gizinya. Tak lupa puluhan resep pun dengan sabar diuji coba. Bahkan tak sedikit para ibu yang mendadak rajin bak mahasiswa, membaca jurnal untuk sekedar mendapatkan jawaban "kenapa anak saya gak mau makan?". Dari anak yang sulit bicara, mungkin seorang ibu lulusan teknik pun akhirnya mau membaca buku psikologi untuk mengetahui tentang apa itu speech delay dan faktor penyebabnya, hingga akhirnya sang ibu yang tak mahir bercerita pun, "terpaksa" harus berimajinasi dengan mimik penuh gaya. Ya, itulah proses belajar sesungguhnya dari kita para orangtua. Maka, bolehkan sekali saja kita berterima kasih kepada anak-anak kita di rumah? Karena mereka, akhirnya kita mau belajar menjadi orangtua sesungguhnya.
#KamiMenulisIPDepok
#TantanganJuli
#HariAnak
Comments
Post a Comment