Berbicara tentang fitrah seksualitas pada anak ternyata sangat luas cakupannya. Begitupun tantangan yang harus dihadapi khususnya oleh emak-emak zaman now. Dari materi yang sudah disampaikan sebelumnya saya jadi mendapatkan sebuah sudut pandang baru, yaitu menumbuhkan fitrah seksualitas pada anak sebenarnya tidak bisa berdiri tanpa adanya proses menjaga fitrah yang lainnya. Begitupun prosesnya tak terlepas dari penguatan keimanan, dan berlanjut pada pengenalan konsep adab, akhlak, taklif hukum, dll. Setidaknya itu menjadi pegangan bagi para keluarga muslim.
Salah satu hal sederhana yang saya amati secara fitrahnya muncul pada diri anak-anak kita, bahkan saat masih berusia balita yaitu munculnya rasa malu. Dalam konteks yang luas mungkin malu disini bisa dibahas dari sudut pandang positif maupun negatif. Misalnya saja konteks malu dalam cakupan malu untuk mengeluarkan pendapat, malu untuk bertanya, dsb justru perlu dihindari. Setiap anak dengan karakter uniknya tentu perlu untuk distimulasi agar menjadi anak yang berani, entah bertanya, berpendapat, dsb.
Dalam konteks yang lebih sempit, khususnya dalam pembahasan fitrah seksualitas, rasa malu di sini adalah bagaimana seorang anak ditumbuhkan untuk memiliki rasa malu jika terbuka auratnya. Hal lainnya misal bagaimana seorang wanita muslimah mampu menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, dsb. Nah, bagaimana pengalaman untuk memperkenalkan semua itu kepada anak balita?
Sebenarnya hal sederhana yang saya terapkan misal sambil mengajak bayi berkomunikasi dan mencontohkan apa yang dimaksud malu. "Nak, ayo kita pakai handuknya ya, kan malu auratnya terlihat". Begitulah percakapan sederhana sejak bayi ketika saya memandikan Sabrina dan menutupinya dengan handuk. Tentu saat itu Sabrina belum paham maksudnya. Namun, seiring dengan usianya, Sabrina bertahap memahami istilah tersebut.
Kini, Sabrina sudah memahami apa itu aurat, meskipun tentu dengan pemahaman anak balita. Memakai baju yang agak terbuka, misal terlihat ketiak, celana yang terlalu pendek, pun saat hendak mandi selalu menjadi bahan komentar Sabrina. "Iih, malu auratnya kelihatan!", "Ayah sana, Brina mau mandi, sembari menutup pintu kamar mandi". Ya, meskipun realitanya seringkali Sabrina masih berlarian kesana kemari setelah mandi. Tidak bersegera berpakaian.
Buku menjadi media efektif untuk menceritakan tentang apa itu rasa malu. Termasuk dalam konteks apa seseorang harus memiliki rasa malu. Meskipun Sabrina belum konsisten memakai kerudung saat keluar rumah, setidaknya Sabrina paham ketika saya ingatkan. "Nak, ko kerudungnya dibuka sih?", saya mencoba bertanya sesaat setelah Sabrina membuka kerudungnya saat tiba di tempat pengajian. Sambil tersenyum Sabrina menjawab "Brina gerah bunda!". Di lain kesempatan Sabrina segera memakai lagi kerudungnya setelah melihat anak-anak yang lain tetap anteng memakai kerudungnya. Ya, begitulah kepolosan anak kecil, mereka akan meniru apa yang mereka lihat. Namun, PR terbesar bagi orangtua adalah bagaimana menjaga fitrah anak untuk mengenali fitrah seksualitasnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Semoga kelak rasa malu yang hadir pada diri anak-anak kita bukan didorong oleh keterpaksaan apalagi ketakutan karena ditegur orangtua, namun hadir karena kesadaran bahwa perempuan muslimah itu harus memiliki rasa malu.
Prosesnya memang tidak bisa instan, apalagi sangat dipengaruhi oleh pemahaman anak. Hal yang membuat saya terkejut adalah ketika melihat Sabrina kini mampu menjadi "pengingat" bagi kami sebagai orangtua, tentang hal-hal yang mungkin kami lupa, padahal sering kami ajarkan. Seperti pagi ini, Sabrina menegur saya saat lupa menutup pintu kamar mandi. "Bunda tutu pintunya, Brina malu kelihatan auratnya".
#day13
#fitrahseksualitas
#learningbyteaching
#bundasayangsesi11
Salah satu hal sederhana yang saya amati secara fitrahnya muncul pada diri anak-anak kita, bahkan saat masih berusia balita yaitu munculnya rasa malu. Dalam konteks yang luas mungkin malu disini bisa dibahas dari sudut pandang positif maupun negatif. Misalnya saja konteks malu dalam cakupan malu untuk mengeluarkan pendapat, malu untuk bertanya, dsb justru perlu dihindari. Setiap anak dengan karakter uniknya tentu perlu untuk distimulasi agar menjadi anak yang berani, entah bertanya, berpendapat, dsb.
Dalam konteks yang lebih sempit, khususnya dalam pembahasan fitrah seksualitas, rasa malu di sini adalah bagaimana seorang anak ditumbuhkan untuk memiliki rasa malu jika terbuka auratnya. Hal lainnya misal bagaimana seorang wanita muslimah mampu menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, dsb. Nah, bagaimana pengalaman untuk memperkenalkan semua itu kepada anak balita?
Sebenarnya hal sederhana yang saya terapkan misal sambil mengajak bayi berkomunikasi dan mencontohkan apa yang dimaksud malu. "Nak, ayo kita pakai handuknya ya, kan malu auratnya terlihat". Begitulah percakapan sederhana sejak bayi ketika saya memandikan Sabrina dan menutupinya dengan handuk. Tentu saat itu Sabrina belum paham maksudnya. Namun, seiring dengan usianya, Sabrina bertahap memahami istilah tersebut.
Kini, Sabrina sudah memahami apa itu aurat, meskipun tentu dengan pemahaman anak balita. Memakai baju yang agak terbuka, misal terlihat ketiak, celana yang terlalu pendek, pun saat hendak mandi selalu menjadi bahan komentar Sabrina. "Iih, malu auratnya kelihatan!", "Ayah sana, Brina mau mandi, sembari menutup pintu kamar mandi". Ya, meskipun realitanya seringkali Sabrina masih berlarian kesana kemari setelah mandi. Tidak bersegera berpakaian.
Buku menjadi media efektif untuk menceritakan tentang apa itu rasa malu. Termasuk dalam konteks apa seseorang harus memiliki rasa malu. Meskipun Sabrina belum konsisten memakai kerudung saat keluar rumah, setidaknya Sabrina paham ketika saya ingatkan. "Nak, ko kerudungnya dibuka sih?", saya mencoba bertanya sesaat setelah Sabrina membuka kerudungnya saat tiba di tempat pengajian. Sambil tersenyum Sabrina menjawab "Brina gerah bunda!". Di lain kesempatan Sabrina segera memakai lagi kerudungnya setelah melihat anak-anak yang lain tetap anteng memakai kerudungnya. Ya, begitulah kepolosan anak kecil, mereka akan meniru apa yang mereka lihat. Namun, PR terbesar bagi orangtua adalah bagaimana menjaga fitrah anak untuk mengenali fitrah seksualitasnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Semoga kelak rasa malu yang hadir pada diri anak-anak kita bukan didorong oleh keterpaksaan apalagi ketakutan karena ditegur orangtua, namun hadir karena kesadaran bahwa perempuan muslimah itu harus memiliki rasa malu.
Prosesnya memang tidak bisa instan, apalagi sangat dipengaruhi oleh pemahaman anak. Hal yang membuat saya terkejut adalah ketika melihat Sabrina kini mampu menjadi "pengingat" bagi kami sebagai orangtua, tentang hal-hal yang mungkin kami lupa, padahal sering kami ajarkan. Seperti pagi ini, Sabrina menegur saya saat lupa menutup pintu kamar mandi. "Bunda tutu pintunya, Brina malu kelihatan auratnya".
#day13
#fitrahseksualitas
#learningbyteaching
#bundasayangsesi11
Comments
Post a Comment