[Dokumentasi pribadi]
Perjalanan membersamai tumbuh kembang anak pertama sungguh memberikan banyak pembelajaran bagi saya pribadi untuk memahami peran seorang ibu. Episode awal menjadi seorang ibu dipenuhi oleh pengalaman yang memungkinkan seorang ibu menjadi orangtua "sumbu pendek". Betapa tidak, hampir setiap jam terdengar tangisan dari seorang bayi kecil di hadapannya. Entah karena lapar, kepanasan, bosan, dsb.Episode berlanjut dengan fase di mana anak mulai sering tantrum. Saat itu saya terkaget-kaget menyaksikan seorang anak balita di hadapan saya yang menangis menjerit tiada henti, bahkan sambil berguling-guling, terkadang meronta. Berbagai jurus pun mulai dicoba mulai dari mengalihkan perhatiannya dengan menawarkan makanan kesukaannya, mengajaknya keluar melihat teman bermainnya, bahkan menyodorkan gadget berupa video yang bisa membuat tangisannya mereda. Namun, ternyata berbagai cara tersebut juga terkadang tidak berhasil membuat anak berhenti menangis. Nah, yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika saya mulai menaikkan suara beberapa oktaf sambil menatap dengan tatapan tajam 😢.
Sejak menemukan berbagai tantangan sebagai seorang ibu, akhirnya saya banyak menuliskan jurnal pembelajaran saya. Alasannya sederhana, yaitu untuk sekedar mengalirkan rasa dan menjaga "kewarasan" sebagai seorang ibu. Membersamai setiap episode tumbuh kembang anak membuat saya akhirnya mendapatkan pembelajaran bahwa tantrum tak selamanya negatif, justru menjadi bagian dari proses perkembangan emosi pada anak.
Salah satu jurnal pembelajaran saat saya membersamai anak pertama, yaitu bagaimana akhirnya saya memahami bahwa salah satu faktor yang menyebabkan anak tantrum adalah karena anak belum mampu untuk mendefinisikan apa yang dirasakannya. Belum lagi ditambah dengan kemampuan untuk mampu mengkomunikasikan hal tersebut kepada orangtuanya. Tentunya karena keterbatasan kosakata yang dimiliki oleh anak balita.
Dari hal itu akhirnya perlahan saya mulai mengenalkan berbagai emosi kepada anak. Media yang saya gunakan yaitu melalui permainan dan mendongeng. Saya masih ingat ketika menjelang usia dua tahun, saya membuatkan permainan "wayang ekspresi" dari kertas berwarna dan kardus bekas. Saat itu saya menggambar ekspresi marah, sedih, senang, menangis, dan takut. Saya bermain bersama anak permainan ekspresi itu sambil mendongeng. Dengan mimik menyesuaikan gambar saya mulai mengenalkan berbagai nama ekspresi kepada Sabrina, anak pertama saya.
Mendongeng dengan media buku pun sangat membantu saya untuk mengenalkan berbagai emosi yang dirasakan anak. Misalnya saja melalui buku "Hmmm..". Dari buku tersebut Sabrina akhirnya tahu untuk mengungkapkan perasaannya saat sedih, marah, senang, dan takut. Sejak Sabrina mampu mendefinisikan berbagai perasaan yang dirasakannya, kini di usia 3,5 tahun alhamdulillah Sabrina sudah mampu mengungkapkan apa yang dirasakannya. Bahkan Sabrina pun akhirnya sudah mampu menunjukkan empati kepada orang disekitarnya.
[Dokumentasi pribadi]
Kini, ketika anak menangis seringkali yang saya lakukan adalah berdialog, menanyakan tentang apa yang dirasakannya. "Nak, kenapa menangis?", terkadang anak masih terdiam dan melanjutkan tangisannya. "Nak, Sabrina lagi kesel? Sabrina masih mau main?" saya mencoba membantu Sabrina menjelaskan lebih lanjut tentang perasaannya. Biasanya tak lama Sabrina mulai merangkai kata sambil terisak menyatakan perasaannya. Hal itu membantu saya untuk memberikan alternatif solusi kepada anak untuk menyalurkan perasaannya tersebut.Hal yang membuat saya terharu adalah ketika melihat anak mulai bisa berempati dengan keadaan orang di sekitarnya. Suatu waktu saat saya kelihatan kesakitan, Sabrina datang menghampiri sambil memeluk. "Bunda sakit? Bunda mau muntah?" dengan ekspresi penuh perhatian Sabrina mengusap perut saya. Dengan sigap Sabrina bahkan berusaha menawarkan dan mengambilkan minum.
Dalam kondisi yang lain tiba-tiba Sabrina melihat seorang anak terjatuh dan menangis kencang. Tiba-tiba Sabrina berujar "Bun, adeknya jatuh? sakit ya? kasian ya" celotehnya. Bahkan kini saya seringkali mengungkapkan perasaan saya kepada Sabrina. "Nak, bunda sekarang cape, boleh mainnya nanti aja?", "Nak, bunda senang kalau Sabrina mau belajar makan sendiri". Semua itu berjalan secara natural sebagai proses bagaimana kami berusaha saling memahami.
Mendefinisikan sebuah perasaan memang bukan suatu hal yang mudah. Terkadang kita sebagai orang dewasa saja seringkali bingung untuk memaknai apa yang sedang kita rasakan. Ketika kita mau mengenalkan tentang berbagai jenis emosi kepada anak sejak balita, harapannya tidak lain adalah agar kelak dia mampu mengetahui apa yang diraskannya dan menyalurkannya dengan cara yang tepat. Kelebihan lainnya adalah agar anak bisa berempati dengan perasaan orang di sekitarnya.
Alhamdulillah episode menangis sambil berguling-guling sudah berhasil dilewati. Meskipun pasti masih banyak "kejutan" lain dalam episode membersamai tumbuh kembang anak hingga dewasa, Namun, yang jelas hikmah pembelajaran yang saya dapatkan adalah betapa rasa sabar dan syukur memang harus senantiasa menyertai kita dalam membersamai anak-anak di rumah.
Saya seringkali berujar bahwa hakikatnya dalam jurnal pembelajaran saya sebagai seorang ibu, anak justru menjadi "dosen" parenting saya sesungguhnya. Karena dari tingkah polahnya dan dari setiap pertanyaannya, telah mendorong saya untuk mau membaca dan belajar banyak hal lagi. Membaca buku dan mengikuti seminar dan komunitas parenting mungkin hanya salah satu ikhtiar kita dalam meng-upgrade ilmu. Namun, hakikatnya belajar kita sesungguhnya adalah saat kita bertumbuh dan berkembang bersama anak-anak kita di rumah. Sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, pasangan dan anak-anak dengan sebuah pertanyaan sederhana "Apa perasaanmu hari ini?"
Karena belajar memahami perasaan sendiri sama pentingnya dengan belajar memahami perasaan orang lain#parentingjourney #perasaan #emosi #tantrum #anak
Comments
Post a Comment