Akhir-akhir ini saya menyaksikan banyak fenomena, di mana banyak orang begitu semangat untuk mengikuti kelas online di WA, ikut seminar, membaca banyak buku, belum lagi googling berbagai informasi rutin dilakukan. Ini sebenarnya bukan tentang orang lain, tapi bisa jadi saya juga termasuk orang di dalamnya. Ya, orang-orang yang merasa "haus" akan berbagai ilmu kehidupan, yang masih mempunyai semangat untuk memperluas wawasan, yang ingin mencari tahu berbagai jawaban dari masalah kehidupan. Namun, yang menjadi kegundahan saya selama ini adalah tentang bagaimana diri kita seringkali belum bisa bijak mengontrol diri dalam proses belajar, khususnya mencari dan memfilter berbagai informasi.
Saya baru mengenal istilah "tsunami informasi" di program matrikulasi IIP awal tahun kemarin. Dan semakin hari, rasanya saya semakin memaknai istilah itu, yang berkorelasi dengan tantangan yang saya lewati hari ini. Di satu sisi saya begitu menggebu ingin menguasai ilmu ini dan itu, ingin membaca buku ini dan itu, ingin mengikuti kelas ini dan itu. Namun, tanpa sadar "haus" akan ilmu itu tidak disikapi secara proporsional yang membuat kita seringkali "lupa diri" hingga masuk ke "zona nyaman" yang terkadang saking asyiknya jadi "kebablasan".
Saya jadi berpikir, jika awalnya saya membuka sosial media karena ingin membaca berita up to date, apa mesti semua headline news di situs online kita baca? Jika awalnya saya membuka sosial media karena ingin bercengkrama bersama teman lama, apa perlu saya chit chat berjam-jam? Jika awalnya saya membuka sosial media, karena ingin mencari sumber inspirasi mainan anak, masakan, dll apa perlu saya baca dan simpan semua informasi yang ada? Jika awalnya saya membuka sosial media karena ingin berbelanja atau berjualan, apa perlu saya mampir ke situs belanja online dan hunting berjam-jam untuk sekedar "melihat-lihat" ataupun membeli barang tertentu saja?
Ya, saya jadi terpikir, seringkali kita lupa memfilter informasi hingga lupa tentang tujuan awal kita melakukan sesuatu. Tanpa sadar, banyak waktu terbuang, banyak ide yang mengendap tanpa eksekusi dan hanya menjadi angan-angan. Tanpa sadar, ratusan file tersimpan rapi di folder tanpa ada pemahaman yang merubah sudut pandang dan tingkah laku kita dalam keseharian.
Akhirnya, munculah efek "tsunami informasi" tersebut. Saya jadi mengevaluasi diri, misal tentang tujuan mencari ide bermain anak. Dalam keseharian, Ibu-ibu tak lepas dari keinginan untuk jadi ibu kreatif, bisa kasih mainan DIY untuk anak tercinta. Berharap bisa mengasilkan karya seperti emak2 kreatif di IG, pinterest dan sosial media lainnya. Akhirnya jadilah satu folder tentang "cara membuat mainan anak dari kardus bekas". Eksekusinya? Jangan ditanya, mayoritas kardusnya ujung-ujungnya dikasih ke tukang loak juga😬
Kita seringkali memang mengukur diri, membandingkan dengan ibu-ibu di luar sana, yang jago masak, bikin mainan anak, bikin rumah tertata rapi. Buka sosmed bukannya cari inspirasi tapi malah berujung pada "kebaperan" tiada henti. Ngomong-ngomong tentang eksekusi, akhirnya saya coba "berlepas diri" dari tsunami informasi, yang kadang membuat saya lupa diri untuk sekedar menemani anak sepenuh hati. Ya, ternyata kalau kita mau jujur menilai sendiri. Anak-anak kita tetap senang tanpa mainan DIY ibunya ataupun mainan canggih yang dibelikan untuknya. Tapi justru kebersamaan bersama kita, hadirnya hati dan pikiran kita saat bermain bersama itu yang mampu membuat mereka tertawa penuh suka cita.
Menjadi ibu di era digital bukan berarti membuat kita lari dari kenyataan, kembali ke zaman nenek moyang kita yang gak mengenal gadget dan turunannya. Keluarga kita tak akan pernah bisa "mengunci diri" untuk terpapar dengan gadget, yang sebenarnya memiliki dua sisi, baik positif maupun negatif. Bukankah kita harus pula berterima kasih karena kecanggihan teknologi ini membuat kita mampu mengakses berbagai informasi tanpa harus berjalan puluhan kilometer? Namun, kita tak dapat pula menutup mata, bahwa gadget seringkali membuat kita lupa akan dunia nyata, tempat kita berkarya sesungguhnya.
Jadi siapa yang salah sebenarnya? Tentu jangan jadikan gadget sebagai kambing hitamnya, karena dia hanyalah sebuah objek yang bergantung kepada siapa yang menggunakannya. Maka, fokuslah kepada diri kita sebagai subjek di dalamnya. Yang memilih, menilai, dan memutuskan, mana yang aku butuhkan?
Kini tantangannya, sejauh mana kita sanggup untuk mau berjibaku menjadi "saringan", untuk sekedar memilih dan memilah mana informasi yang penting dan tidak, mana berita yang hoax dan tidak, dll. Tentu butuh tenaga, untuk menghasilkan santan tanpa ampas kotor di dalamnya. Tentu butuh upaya untuk memeras parutan kelapa hingga menjadi santan yang gurih penuh rasa. Begitu pula tentang menyaring "tsunami" informasi ini. Kita menginginkan apa yang kita ambil adalah informasi yang baik dan bermanfaat seperti santan kelapa tadi, tentu tanpa ampas konten negatif sebagai embel-embelnya. Tugas kita adalah mau "bersusah payah" untuk sekedar memfilter mana konten yang sesuai dengan visi misi hidup kita agar kita tak terhanyut oleh "tsunami" informasi di sekitar kita
#ODOPfor99days #Day1
Comments
Post a Comment