Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2020

Aliran Rasa Tahapan Kepompong

Alhamdulillah tak terasa #tantangan30hari dan puasa pekanan selama sebulan terakhir sudah berhasil dilewati. Ketika selesai sampai garis finish , rasanya saya ingin mengingat kembali langkah pertama yang saya lakukan saat memulai tahapan ini.  Refleksi ini sejatinya bukan sekedar menjadi memori tentang sebuah proses pembelajaran. Namun, tentang sebuah komitmen untuk terus melakukan perbaikan. Maka, proses itu sejatinya tidak berhenti sampai di tahapan ini, namun harus terus dilakukan agar benar-benar menjadi sebuah kebiasaan baik. Lebaran tahapan kepompong bersama Pak Dodik dan Ibu Septi melalui live FB menjadi momen yang membahagiakan. Di mana ilmu, pengalaman dan energi positif dari beliau berdua menjadi inspirasi bagi saya pribadi untuk terus belajar dan melangkah ke depan. Satu catatan penting dari proses selama sebulan ini yaitu ketika saya bisa fokus kepada ikhtiar dan menjalani dengan bahagia, itulah yang membuat saya bisa konsisten menjalani semua ini. Rasa b

Puasa "Shalat Tepat Waktu"

Tak terasa rangkaian "puasa" di tahap kepompong kelas Bunda Cekatan sudah memasuki pekan terakhir. Banyak teman-teman yang merasa "ketagihan" menjalankan hal ini karena mungkin terasa ada perubahan positif yang dirasakan. Setidaknya puasa ini menjadi ajang untuk menguji konsistensi. Nah, bagi saya pribadi puasa ini seperti "alarm" sekaligus "rem" supaya saya memiliki self control yang baik, agar tetap fokus, komitmen dan konsisten dengan target yang sudah dibuat. Empat minggu dilewati, saya memfokuskan diri untuk puasa dari berbagai distraksi yang memang mengganggu produktivitas saya. Terutama berfokus pada perbaikan manajemen gadget dan manajemen waktu. Nah, di pekan terakhir puasa ini, saya menetapkan untuk puasa "shalat tepat waktu". Artinya saya menantang diri, sejauh mana saya bisa konsisten melaksanakan shalat lima waktu secara tepat waktu. Latar belakang saya memilih untuk puasa ini karena hal ini sangat mendukung #tan

Self Healing untuk Mempersiapkan Ramadhan

Tak terasa perjalanan #tantangan30hari sudah sampai di hari terakhir. Saya jadi teringat dengan momen pertama saya menjalani proyek ini, pun masa di mana saya sedikit bimbang untuk memilih prioritas yang ingin saya jalankan di #tantangan30hari. Hari ini dengan mengucap syukur alhamdulillah, saya merasakan bahwa pilihan saya sudah tepat. Ternyata ini adalah hal yang saya butuhkan. Dan yang membuat saya konsisten menjalaninya tidak lain karena saya bahagia melewati semua ini. Proyek #tantangan30hari dan puasa mingguan yang saya jalankan di tahapan kepompong ini saling berkesinambungan dan saling menguatkan. Itu juga yang membuat saya bisa fokus "on track" untuk sampai pada tujuan yang sudah saya tetapkan di mind map yang sudah saya buat di tahapan Telur-Telur. Memang tidak mudah, melewati #tantangan30hari di tengah pandemi. Namun, proyek "self healing" ini sejatinya yang mendukung saya untuk bisa lebih produktif dan berpikiran positif di tengah kondisi ini.

Self Healing untuk Menyembuhkan Innerchild

Mayoritas kita mungkin sudah mulai familiar mendengar istilah innerchild . Saya sendiri tau tentang hal ini dari beberapa buku yang saya baca, termasuk dari kulwap yang pernah saya ikuti. Saat di keluarga manajemen emosi sempat dilaksanakan kulgram khusus di grup ini yang diisi oleh psikolog sekaligus anggota keluarga manajemen emosi, Teh Shinta Rini, M.Psi. Dari kulgram tersebut akhirnya semakin membuka pikiran saya untuk menelisik ke dalam diri, apakah ada innerchild yang belum tuntas? Setelah menjalani #tantangan30hari ini saya juga semakin menyadari bahwa ada innerchild yang harus disembuhkan khususnya ketika saat ini saya menjalani peran sebagai orangtua. Jauh sebelum itu rasanya tak pernah terpikir bahwa tindakan emosi spontan yang kadang muncul begitupun penyikapan kita terjadap suatu peristiwa bisa dipengaruhi karena innerchild yang belum tuntas. Saya sebenarnya sangat bersyukur hidup dalam pengasuhan orangtua yang penuh teladan dan memberi kesan positif. Saya pu

Self Healing dengan "Decluttering" di Rumah

Salah satu tantangan ketika harus #StayatHome selama sebulan lebih adalah bagaimana mengelola emosi agar tetap stabil. Ya, mood swing lebih bisa terpicu saat semua anggota keluarga mulai bosan dengan aktivitas di dalam rumah. Anak-anak pun mulai mengeksplorasi semua sudut rumah dengan mainan yang berceceran. Lengkap dengan pemandangan cucian piring yang tak henti, seolah sedang di restoran 🤣. Namun, insyaAllah tetap banyak hal positif yang membahagiakan. Nah, tentang pemandangan rumah yang berantakan, perabot yang tak tersusun rapi di tempatnya, bagi sebagian orang tak jadi masalah. Namun, bagi sebagian yang lainnya bisa menjadi pemicu stress yang luar biasa. Termasuk membuat mudah terpacu emosi dan mood tak karuan. Saya pribadi saat ini berada di fase yang bisa "mentoleransi" keadaan rumah yang kurang ideal dengan alasan menjaga "kewarasan". Tentu bukan berarti membiarkan rumah berantakan dan tak dibersihkan. Namun, lebih kepada menurunkan standar, tak

Perlukah Kita "Mendetoks" Tubuh dan Pikiran Kita?

Tak terasa #tantangan30hari beberapa hari lagi akan usai. Namun, sejatinya ini hanyalah sebuah awalan, ajang latihan bagi saya pribadi melatih konsistensi dalam proses belajar yang saya lewati. Satu hal yang saya syukuri selama menjalani proyek "Self Healing" yaitu saya berani untuk jujur mengekspresikan emosi dan menerima kekurangan dan kelebihan diri, tanpa harus "menghakimi" dan membuat rendah diri. Kekurangan dan ketidaksempurnaan justru semakin mengingatkan saya tentang proses belajar yang tanpa henti, menjadi sebuah "nilai" tersendiri bahwa kita telah melakukan sebuah perjuangan untuk menemukan makna kehidupan. Hari ini, jujur saya kurang bersemangat untuk menjalankan rencana yang sudah dibuat sebelumnya. Biasanya malam sebelum tidur atau sebelum subuh saya merapikan catatan, terkadang jika tak sempat, saya berikan jeda waktu untuk berkontemplasi, mengingat amanah-amanah yang harus ditunaikan hari ini. Namun, ada satu hal yang harus saya sadari,

Self Healing dengan Melakukan "Gratitude Therapy"

Ketika di tahapan "Ulat-Ulat" saya banyak belajar di keluarga manajemen emosi. Saat itu, khususnya di subkelas "Self Healing B" ada beberapa teman di kelas Bunda Cekatan yang berbagi tentang "Gratitude Therapy" atau dikenal dengan jurnal syukur. Kemudian ada beberapa orang yang ikut tantangannya. Kita diminta untuk menuliskan minimal sepuluh hal yang kita syukuri di hari itu dengan tulisan tangan minimal selama 21 hari secara konsisten serta ada beberapa panduan lainnya. Namun, mungkin ada beberapa yang berhenti di tengah jalan karena belum bisa konsisten menulis dengan tulisan tangan ataupun aspek teknis lainnya. Dan saya pribadi merasakan tantangan itu. Akhirnya dari hasil evaluasi tersebut, saya pribadi mencoba mengambil benang merah dari "gratitude therapy" ini, yaitu fokus kepada filosofi dan tujuannya, bukan kepada media atau teknis lainnya. Saya mencoba memodifikasi jurnal syukur ini sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas saya, kunciny

Membahagiakan Diri dengan Mengobrol dengan Orang Tercinta

Mayoritas dari kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar riset tentang kebutuhan wanita untuk mengeluarkan 20.000 kata perhari. Tentu itu sangat relatif dan personal juga sifatnya. Namun, bagi saya pribadi pernyataan tersebut ada benarnya juga, saya pribadi merasakan benar hal itu. Apalagi saya tipe orang yang memang senang bercerita. Pola pengasuhan orang tua saya di rumah, mungkin juga berpengaruh terhadap hal ini. Kami dibiasakan untuk saling terbuka, ngobrol, dan mengekspresikan apa yang kami rasakan. Alhamdulillah hal itu menjadikan saya dan saudara saya yang lain selalu berpikir bahwa orangtua dan keluarga adalah tempat ternyaman untuk bercerita. Selama melakukan proyek "Self Healing" ini akhirnya saya mencoba mempraktekkan beberapa teori yang relevan untuk diaplikasikan. Misalnya saja tentang manfaat mengobrol sebagai bentuk self care sekaligus self healing , terutama bagi para ibu. Saya sendiri sempat merasakan "jetlag" ketika memutuskan ber

Puasa dengan Mengatur Jam Online

Pekan sebelumnya saya sudah melakukan puasa media sosial (FB dan IG). Hasilnya alhamdulillah hampir memenuhi target. Saat itu saya mendapat empat badge excellent. Namun, evaluasinya yaitu tantangan yang saya tetapkan kurang menantang. Akhirnya, di pekan ini saya menetapkan untuk melanjutkan puasa minggu ke-2 untuk menguji konsistensi saya, sekaligus menambah puasa minggu ke-3 ini dengan mengatur jam online Setelah melalui puasa pekan ke-2, ada beberapa catatan yang mendorong saya untuk mengatur jam online di pekan ini. Pertama , ketika saya berhasil membuka media sosial hanya satu kali dalam sehari, ternyata ada hari di mana durasi saya membuka IG cukup lama. Mungkin efek seolah baru "buka puasa" 🤭, jadi segala ingin dimakan, wkwkwk. Alhasil, hal tersebut tetap menghambat produktivitas saya dalam beraktivitas. Kedua , jam online ini secara tidak langsung berpengaruh pada proyek self healing yang sedang saya lakukan di #tantangan30hari, misalnya saja tentang tidu

Latihan Self Healing dengan "Positive Self Talk"

Kapan terakhir kali kita berbicara dengan diri sendiri? Mungkin pertanyaan itu agak sedikit menggelitik ya. Banyak di antara kita yang mungkin tak terpikir untuk melakukan "self talk" atau berbicara dengan diri sendiri. Nah, setelah saya fokus mempelajari self healing , akhirnya saya mencoba mempraktekkan self talk ini dalam keseharian. Dan alhamdulillah sejauh ini sudah ada perubahan positif yang saya rasakan. Dalam keseharian kita, seringkali muncul pikiran negatif datang silih berganti. Begitupun perasaan takut dan cemas yang berlebihan. Apalagi jika kita sedang dihadapkan pada suatu masalah. Entah itu masalah kesehatan, finansial, dsb. Tak jarang kita memberikan stigma negatif atau "labelling" kepada diri kita sendiri. Tanpa sadar jika itu terus dilakukan maka akan membentuk self image negatif pada diri kita sendiri. Saya pribadi pernah ada di posisi itu. Apalagi dengan tipe yang memang sedikit sensitif, tentu stimulus eksternal maupun internal sanga

Menerapkan "Mindfulness Parenting" di dalam Keluarga

Setelah kemarin saya berlatih mindfulness secara personal, hari ini saya mencoba untuk mengaplikasikan ini dalam keluarga. Ya, mindfulness bisa diaplikasikan dalam proses pengasuhan. Secara teori, konsep ini memiliki banyak manfaat jika diterapkan di dalam keluarga. Salah satunya yaitu untuk meningkatkan kelekatan antara anak dan orangtua serta memperbaiki pola komunikasi di dalam keluarga. Sebelumnya saya mencoba mengevaluasi dahulu, sejauh ini apa saja yang mengganggu kami dalam proses pengasuhan anak-anak? Pertama , terkadang kami masih terdistraksi saat mendampingi anak-anak bermain dan belajar, misal dengan masih sibuk membuka HP, meskipun hanya sebentar saja,  sekedar mengecek pesan. Kedua , terkadang kami masih kurang peka ketika "alarm" dari anak-anak mulai berbunyi, yaitu ketika mulai ada yang merengek dan menangis, kadang kami masih fokus dengan pekerjaan masing-masing. Tak jarang mengambil solusi instan sekedar berkata " kenapa sih nangis, udah..udah..

Menjalani "Mindful Life" bagi Seorang Ibu

Seorang ibu biasanya terkenal dengan sebutan orang "multitasking" yang bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Bahkan terkadang bukan hanya tangan dan kakinya saja yang bekerja. Tak jarang dalam satu kesempatan, para ibu harus berbicara sambil tangannya menggoreng telur sedangkan di pikirannya terpikir tumpukan baju yang belum disetrika.  Saya pribadi pernah berada di fase itu, bahkan bisa dibilang cukup "parah". Alhasil  saya serasa dikejar-kejar waktu dan pekerjaan rumah yang rasanya tak pernah usai. Seringkali banyak hal yang terbawa mimpi karena banyak yang dipikirkan belum mampu dilaksanakan. Badan sudah lelah, tapi pikiran dipaksa untuk terus bekerja. Tak jarang menganggap remeh dan abai terhadap istirahat dan asupan nutrisi, hanya karena alasan terlalu banyak hal yang harus dikerjakan. Saya akhirnya mulai memfokuskan diri membaca buku, ngobrol dengan suami, termasuk masuk ke keluarga manajemen emosi di mana di sana banyak dibahas hal-hal yang berkait

Rencana Persiapan Program Ramadhan

Proyek self healing yang sedang saya jalankan di #tantangan30hari kelas kepompong, insyaAllah bisa menjadi start awal proses tazkiyatun nafs menuju persiapan ramadhan. Ramadhan tahun ini tentu akan menjadi sangat berbeda, di tengah kondisi pandemi yang masih terjadi. Begitupun beberapa kondisi yang tidak memungkinkan kita melakukan ibadah di bulan ramadhan seperti biasanya.  Dalam aspek keimanan, semua ini adalah qadha Allah yang harus kita terima dengan penuh keridhaan dan kesabaran. Dan di aspek lainnya, hal ini adalah sebuah tantangan yang harus kita pecahkan agar kita bisa tetap mengoptimalkan amalan terbaik di bulan ramadhan. Kemarin, saya baru saja memulai corat-coret sekaligus membuka kembali target- target ramadhan beberapa tahun lalu.  Tak lupa saya membaca evaluasi ramadhan setiap tahun. Nah, ada beberapa poin penting yang bisa saya ambil hikmahnya, yaitu tentang fokus dan konsisten, seperti yang saya pelajari juga di kelas ulat-ulat. Tahun ini saya harus bisa

Self Healing dengan Membuat Perencanaan Ramadhan

Tak terasa hari ini saya sudah menjalankan proyek "Self Healing" selama dua puluh hari. Di hari ke dua puluh ini saya ingin mengungkapkan ekspresi syukur alhamdulillah karena saya masih bisa berjalan "on track" sesuai dengan tujuan yang saya tetapkan. Dan yang paling saya syukuri bukan semata fokus pada hasil yang dicapai namun pada proses yang dilewati. Ya, alhamdulillah saya bahagia menjalani ini semua. Dan bagi saya pribadi, itu yang menjadi kunci kenapa saya tetap semangat melanjutkan tantangan ini. Hari ini saya melanjutkan kembali untuk melakukan ATM "Amati, Tiru, Modifikasi" hasil belanja gagasan saya kemarin, terutama seputar persiapan ramadhan. Ya, proses self healing dan juga puasa yang saya jalankan di tahap kepompong ini sangat menunjang proses puasa sesungguhnya yang akan saya jalankan sebentar lagi. Jadi alhamdulillah ini bisa menjadi momentum yang tepat bagi saya untuk mempersiapkan ramadhan. Saya akhirnya teringat pernah menulis a

Self Healing dengan "Belanja Gagasan"

Salah satu tantangan ketika harus #StayatHome selama pandemi adalah mengusir rasa bosan dan #mager bagi para Emak di rumah. Mungkin ada beberapa Emak yang menjadi #timrebahan sambil nonton drakor. Sebagian lagi menjadi #timdapur yang harus masak lebih sering karena anak dan suami semua ada di rumah. Ya, masing-masing memiliki tantangan, pilihan dan prioritas yang berbeda. Nah, saya pribadi akhirnya memilih proyek di tahap kepompong ini seputar "Self Healing". Tujuannya selain memang ada di mind map juga karena saya ingin tetap bahagia dan lebih bisa produktif dalam kondisi seperti ini. Saya ingin bisa lebih peka terhadap kebutuhan diri namun tak abai dengan sekitar. Selama sembilan belas hari menjalani tantangan ini, alhamdulillah banyak hikmah yang sudah saya dapatkan. Salah satunya saya merasa lebih nyaman dan menikmati aktivitas sehari-hari serta lebih fokus untuk mencapai target yang sudah dibuat. Saya pun tidak terlalu banyak terpengatuh oleh "kebisingan"

Self Care di Tengah Pandemi

Tak terasa sudah hampir sebulan saya dan anak-anak benar-benar total #StayatHome, alias gak kemana-mana sejak ada pandemi Covid-19. Awalnya ada perasaan bosan dan kangen untuk beraktivitas ke luar rumah. Tentu, jika sekedar mengikuti keinginan pribadi, kami ingin sekali pergi jalan-jalan ke mall , hadir di kajian, ataupun bermain di taman. Namun, kami tahu ini demi kebaikan bersama. Maka, bukankah bersabar itu lebih utama? Ketika tidak ada aktivitas ke luar rumah seperti yang biasanya kami lakukan, tentu si kaka yang sudah bisa berkomunikasi bertanya-tanya, "Bunda, kapan kita ke taman lagi?", "Bunda aku mau ngaji di TPA!", "Bunda aku mau jalan-jalan ke mall !". Ya, begitulah rengekan si kaka. Namun, kini anaknya sudah paham kalau sedang ada pandemi. Maka, ketika ditanya oleh tetangga "Kenapa gak main?", "Soalnya ada virus corona" ujarnya dengan polos. Selama situasi seperti ini, kami memang harus bersabar dan ridha dengan qadha

Self care: Kapan Terakhir Kali Aku Merawat Diri?

Beberapa hari yang lalu saya menuliskan jurnal berlajar tentang self love yang akan membuat kita untuk lebih peduli dengan diri kita sendiri ( self care ). Bagi saya pribadi, self care itu cakupannya sangat luas. Tidak hanya sekedar peduli untuk merawat fisik namun juga hati dan pikiran kita. Seperti dua hari yang lalu proses detoks gadget dan media sosial bagi saya pribadi merupakan bentuk self care yang harus saya latih.  Hari ini saya bangun lebih pagi. Alhamdulillah semalam bisa tidur lebih awal. Sebelum subuh saya sempatkan membaca buku yang baru saja  sampai semalam. Buku yang saya baca berjudul "Happiness Everyday" karya Safiya Hussain. Buku ini kemudian mengingatkan saya bahwa sejak memiliki anak kedua tak jarang saya lupa untuk bercermin dan menyisir rambut dengan tenang, kecuali saat akan berangkat ke suatu kegiatan.  Oh tidak!! Saya baru tersadar, sesibuk apakah pekerjaan saya sebagai ibu rumah tangga? Rasanya sudah lama saya tergesa-gesa, tidak fokus,

Self Healing dengan "Detoks" Media Sosial

Hari minggu saya baru saja selesai puasa media sosial (Instagram dan Facebook). Saya tidak sampai menghapus kedua akun media sosial tersebut, namun hanya membatasi intensitas penggunaannya. Hal ini sebenarnya sejalan dengan proyek self healing di #tantangan30hari yang sedang saya jalankan. Artinya keduanya saling berkesinambungan. Kemarin saya sudah memulai untuk "detoks gadget" atau "konmari gadget". Maka hari ini saya melanjutkan untuk "detoks media sosial". Artinya ketika alat/ gadget yang kita gunakan sudah lebih optimal fungsinya (file yang tersusun rapi, aplikasi berfungsi optimal, file yang tidak penting sudah dihapus, dll), maka media sosial yang kita gunakan di gadget kita pun harus dibersihkan. Ibarat gelas, jika kita sudah mencucinya namun air yang kita masukan adalah air kotor, maka bisa dipastikan air itu tetap membahayakan bagi tubuh kita. Media sosial adalah representasi atau "branding" diri kita. Artinya apa yang kita