Baca judulnya aja udah berasa "berat" banget ya? 😬. Padahal sebenarnya yang mau ditulis hanyalah "curhatan" keseharian Emak-Emak pada umumnya. Ya, tentang bagaimana para wanita menjalani urusan rumah tangga yang penuh "kerempongan" yang tiada habisnya 😂. Mulai dari urusan cucian, anak yang GTM, serta berangan-angan sekedar ber- me time untuk luluran dan dandan cantik yang belum juga kesampean. Di sudut yang lain, kita melihat tetangga beli perabotan canggih terbaru. Buka sosial media, timeline dipenuhi sama temen-temen masa muda yang dapet beasiswa ke luar negeri, atau berbagi momen travelling keluarga yang kayaknya indah banget. Gimana gak bikin kita "baper"? 😬😂
Kita coba rekam ulang, bagaimana kehidupan pasca pernikahan kita mungkin masih dipenuhi oleh hal-hal yang kurang konstruktif bahkan tidak jarang sangat destruktif. Walhasil, tidak jarang muncul rasa tidak percaya diri. Belum lagi sebagian kita mungkin belum bisa "move on" dari "post power syndrom" . Senada dengan apa yang dipikirkan, lisan kita juga sering berkata yang destruktif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. "Ah dasar kamu males!", " Ah kamu sih gak mau usaha!" ," Tuh lihat anak dia lebih pinter!". "Tuh liat suami dia romantis banget!" Berbagai judgment dan labelling negatif acapkali kita ucapkan serta kita dengar dari lingkungan sekitar kita. Maka, tak aneh jika akhirnya tindakan kita sejalan dengan yang kita pikirkan dan ucapkan. Siapa yang salah?
Kita tidak bisa semata-mata menyalahkan orang lain atau lingkungan di luar kita. Entah itu orangtua, suami, anak, teman, dsb. Karena perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari sebuah persepsi yang akan membangun pemikiran kita akan sesuatu. Maka wajar saja, jika diri kita sendiri masih memiliki persepsi yang destruktif, maka kata-kata yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan tidak jauh dari apa yang kita pikirkan.
*Bagaimana mungkin kita bisa menemukan potensi baik suami dan anak kita, jikalau apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan adalah hal-hal yang destruktif?*Maka, jangan pernah jadikan sudut pandang orang lain sebagai standar penilaian kita. Insyaallah perlahan kita akan menemukan luar biasanya orang-orang yang kini hidup bersama kita, suami dan anak-anak kita di rumah. Maka, cobalah sesekali saja untuk mau jujur mengapresiasi mereka bukan berdasarkan opini di sosial media atau tetangga. Maka, cobalah sesekali untuk saling memahami lebih dekat, tentang apa yang membuat mereka bahagia?
Perubahan itu dimulai saat kita membiasakan membangun pola pikir dan pola sikap yang konstruktif. Ah.. rasanya adem dan tenang ya, saat anak "rewel" kita datang, kita menghampiri dengan pelukan dan suara yang halus. Ah rasanya nyaman, saat suami yang lelah bekerja datang, istri menyambut dengan senyuman dan pelukan yang menenangkan. Ah rasanya nyaman, saat istri banyak pikiran, suami datang untuk mendengar keluh kesah sambil menghibur dan memberi sandaran.
Memulai untuk berpikir, berucap dan bertindak konstruktif bukan tentang bagaimana agar kita menjadi baik seperti dia. Namun, bagaimana kita mau berikhtiar untuk secara jujur menilai apa yang ada dalam diri kita. Kita tidak dipaksa untuk berpikir, berkata, dan bertindak konstruktif. Namun, kita sendiri yang memilih dan memutuskan. Is it right?
Comments
Post a Comment