Sebenarnya jari ini rasanya sudah mulai kaku untuk merangkaikan deretan huruf menjadi sebuah kata yang bermakna, apalagi kalimat dan paragraf panjang. Ya, tak terasa berminggu-minggu lamanya, blog pribadi menjadi "sarang laba-laba". Setelah berakhir masa belajar di kelas bunda sayang, secara otomatis tidak ada lagi "kewajiban" untuk menuliskan tantangan setiap level. Nah, otomatis rasanya kurang ada motivasi lebih untuk menulis secara rutin dan konsisten setiap hari.
Problem vakumnya menulis rasanya terjadi berulang kali. Pasti dalam kurun waktu satu tahun, ada masa di mana saya sangat produktif untuk menulis, membaca, membuat quotes penyemangat, menuliskan berbagai perencanaan, dsb. Namun, ada masa di mana semua rutinitas itu tanpa sadar ditinggalkan begitu saja.
Dari kejadian yang berulang kali itu, akhirnya saya sempat "berkontemplasi", mencoba merenung dan mencari jawaban. Kira-kira kenapa ya semua ini bisa terjadi berulang kali. Nah, dari hasil evaluasi, ternyata niat, motivasi atau dorongan itu menjadi faktor utama yang menentukan langkah selanjutnya. Jika niat sudah tak lurus, jika visi masih samar dan tujuan tak jelas, maka wajar akan sulit untuk melangkah apalagi menghadapi berbagai tantangan.
Tak salah jika kita sering mendengar ungkapan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari niatnya. Selama ini mungkin saya pribadi bisa konsisten menulis ternyata masih banyak dipengaruhi oleh motivasi eksternal, sehingga kurang muncul motivasi internal yang mampu menjaga semangat dan konsistensi menulis jika tidak ada faktor pendorong, pengingat, ataupun "tuntutan" dari pihak luar. Sedih memang, ketika semangat turun, lingkungan sekitar sedang kurang kondusif, ditambah lagi tidak ada yang mengingatkan tentang visi dan misi yang harus kita jalankan.
Faktor kedua yaitu mau menikmati proses. Terkadang ketika kita sudah bisa konsisten melakukan suatu hal, apalagi sudah bisa upgrading diri, melakukan banyak kebaikan yang lain. Tanpa sadar kita sering melupakan kebiasaan, komitmen dan rutinitas baik yang sudah kita bangun sebelumnya. Misalnya saja, karena kita merasa sudah bisa rutin melakukan free writing setiap hari, bisa mencapai target menulis artikel setiap minggu pun membaca buku. Maka, ketika target "dinaikkan", tiba-tiba kita justru keteteran, dan akhirnya menurunkan standar atau target bahkan meninggalkan kebiasaan yang sudah dibentuk.
Alasan kesibukan dan faktor eksternal lainnya sering dijadikan "kambing hitam" dari penurunan konsistensi kita dalam melakukan suatu hal. Saya pun mengangguk berulang kali, mencoba mengiyakan berbagai ungkapan bijak dari buku ataupun orang-orang sukses yang saya tahu. Bahwasannya konsistensi adalah sebuah ungkapan yang "mahal" harganya.
Mempertahankan satu kebiasaan baik ternyata jauh lebih sulit daripada membentuk satu atau bahkan beberapa kebiasaan baik lainnya. Belajar untuk konsisten, stabil, dan fokus menjadi tantangan tersendiri bagi saya pribadi. Sempat muncul sebuah pertanyaan retoris. "Apakah menulis sudah menjadi kebutuhan atau hanya sekedar keinginan pribadi?"
Menjawab pertanyaan tentang "keinginan" dan "kebutuhan" membuat saya akhirnya tersadar. Bahwa penyikapan saya selama ini tentang menulis masih berada di fase memenuhi "keinginan" saja. Beda halnya ketika menulis menjadi sebuah "kebutuhan". Tentu dalam kondisi apapun, saya akan tetap menulis, meskipun dengan berbagai keterbatasan dan tantangan yang ada.
Kurang dari sebulan saya vakum dari kegiatan menulis, latihan free writing maupun membaca buku. Namun, efek negatifnya sudah terasa luar biasa. Selain pikiran rasanya terasa "lemot", sulit mengeksplorasi sebuah ide dan kreativitas lainnya. Ternyata "libur" dari kegiatan membaca dan menulis membuat banyak ide "menguap" begitu saja.
Saya jadi teringat ungkapan lainnya yang menyatakan bahwa seringkali orang begitu sulit untuk memulai sesuatu. Padahal jika sudah dilakukan dan dijalani, semuanya akan terasa lebih mudah. Tanpa sadar tantangan demi tantangan bisa dilewati. Rasa malas dan kesibukan bukan dijadikan alasan untuk berhenti dari sebuah konsistensi.
Tulisan ini sebenarnya lebih layak disebut "curhat pribadi" dalam rangka kontemplasi dan evaluasi diri. Bersyukur masih di saat hati masih memiliki "alarm" untuk mengingatkan dan memperbaiki diri sendiri. Ternyata di tengah "zona nyaman" yang sedang dinikmati, tanpa sadar justru memunculkan kehampaan. Tak ada "ruh" dan energi untuk berakselerasi.
Yuk, kita mulai konsisten membaca dan menulis lagi!!
Problem vakumnya menulis rasanya terjadi berulang kali. Pasti dalam kurun waktu satu tahun, ada masa di mana saya sangat produktif untuk menulis, membaca, membuat quotes penyemangat, menuliskan berbagai perencanaan, dsb. Namun, ada masa di mana semua rutinitas itu tanpa sadar ditinggalkan begitu saja.
Dari kejadian yang berulang kali itu, akhirnya saya sempat "berkontemplasi", mencoba merenung dan mencari jawaban. Kira-kira kenapa ya semua ini bisa terjadi berulang kali. Nah, dari hasil evaluasi, ternyata niat, motivasi atau dorongan itu menjadi faktor utama yang menentukan langkah selanjutnya. Jika niat sudah tak lurus, jika visi masih samar dan tujuan tak jelas, maka wajar akan sulit untuk melangkah apalagi menghadapi berbagai tantangan.
Tak salah jika kita sering mendengar ungkapan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari niatnya. Selama ini mungkin saya pribadi bisa konsisten menulis ternyata masih banyak dipengaruhi oleh motivasi eksternal, sehingga kurang muncul motivasi internal yang mampu menjaga semangat dan konsistensi menulis jika tidak ada faktor pendorong, pengingat, ataupun "tuntutan" dari pihak luar. Sedih memang, ketika semangat turun, lingkungan sekitar sedang kurang kondusif, ditambah lagi tidak ada yang mengingatkan tentang visi dan misi yang harus kita jalankan.
Faktor kedua yaitu mau menikmati proses. Terkadang ketika kita sudah bisa konsisten melakukan suatu hal, apalagi sudah bisa upgrading diri, melakukan banyak kebaikan yang lain. Tanpa sadar kita sering melupakan kebiasaan, komitmen dan rutinitas baik yang sudah kita bangun sebelumnya. Misalnya saja, karena kita merasa sudah bisa rutin melakukan free writing setiap hari, bisa mencapai target menulis artikel setiap minggu pun membaca buku. Maka, ketika target "dinaikkan", tiba-tiba kita justru keteteran, dan akhirnya menurunkan standar atau target bahkan meninggalkan kebiasaan yang sudah dibentuk.
Alasan kesibukan dan faktor eksternal lainnya sering dijadikan "kambing hitam" dari penurunan konsistensi kita dalam melakukan suatu hal. Saya pun mengangguk berulang kali, mencoba mengiyakan berbagai ungkapan bijak dari buku ataupun orang-orang sukses yang saya tahu. Bahwasannya konsistensi adalah sebuah ungkapan yang "mahal" harganya.
Mempertahankan satu kebiasaan baik ternyata jauh lebih sulit daripada membentuk satu atau bahkan beberapa kebiasaan baik lainnya. Belajar untuk konsisten, stabil, dan fokus menjadi tantangan tersendiri bagi saya pribadi. Sempat muncul sebuah pertanyaan retoris. "Apakah menulis sudah menjadi kebutuhan atau hanya sekedar keinginan pribadi?"
Menjawab pertanyaan tentang "keinginan" dan "kebutuhan" membuat saya akhirnya tersadar. Bahwa penyikapan saya selama ini tentang menulis masih berada di fase memenuhi "keinginan" saja. Beda halnya ketika menulis menjadi sebuah "kebutuhan". Tentu dalam kondisi apapun, saya akan tetap menulis, meskipun dengan berbagai keterbatasan dan tantangan yang ada.
Kurang dari sebulan saya vakum dari kegiatan menulis, latihan free writing maupun membaca buku. Namun, efek negatifnya sudah terasa luar biasa. Selain pikiran rasanya terasa "lemot", sulit mengeksplorasi sebuah ide dan kreativitas lainnya. Ternyata "libur" dari kegiatan membaca dan menulis membuat banyak ide "menguap" begitu saja.
Saya jadi teringat ungkapan lainnya yang menyatakan bahwa seringkali orang begitu sulit untuk memulai sesuatu. Padahal jika sudah dilakukan dan dijalani, semuanya akan terasa lebih mudah. Tanpa sadar tantangan demi tantangan bisa dilewati. Rasa malas dan kesibukan bukan dijadikan alasan untuk berhenti dari sebuah konsistensi.
Tulisan ini sebenarnya lebih layak disebut "curhat pribadi" dalam rangka kontemplasi dan evaluasi diri. Bersyukur masih di saat hati masih memiliki "alarm" untuk mengingatkan dan memperbaiki diri sendiri. Ternyata di tengah "zona nyaman" yang sedang dinikmati, tanpa sadar justru memunculkan kehampaan. Tak ada "ruh" dan energi untuk berakselerasi.
Yuk, kita mulai konsisten membaca dan menulis lagi!!
Comments
Post a Comment